Take a fresh look at your lifestyle.

Ummi Ainiyah: Jejak Teungku Inong Dayah di Aceh

Dalam sejarah Aceh, Teungku Inong memiliki peran besar dalam pendidikan dayah di Aceh.

PADA abad 19-20, beberapa tokoh wanita ulama (teungku inong) di Aceh memainkan peran penting dalam mengembangkan Pendidikan Islam di Aceh melalui Dayah. Salah satunya  Teungku Fakinah (1856-1938), yang mendirikan dan mengajar di Dayah Lam Diran di Aceh Besar (Baca: Asna Husin, 2014:51).

Dalam perkembangannya, pada abad 20-21, Teungku Inong masih  terus memainkan peran penting dalam pengembangan pendidikan dayah di Aceh. Hal itu dapat dilihat dari sosok Ummi Ainiyah. Seorang Teungku Inong yang pernah memimpin Dayah di Aceh.

Ummi Ainiyah, seorang perempuan, cucu dari pejuang ketika Aceh perang melawan Belanda, anak dari pejuang DI/TII, dan menantu ulama Aceh, Teungku Abi Hanafiah (Pendiri Dayah MUDI Mesra Samalanga). Beliau bukan saja sebagai istri, tapi karena penguasaan ilmu yang dimilikinya, ditambah konsistensinya menjadi pemimpin Dayah Muslimat Putri Samalanga. Menjadi patut dibanggakan bahwa dalam era modern, Aceh tidak pernah mundur melahirnya pejuang pendidikan dari perempuan.

Pengabdian almarhumah Ummi Ainiyah, fokus pada santri perempuan dan anak-anak yatim. Sebagai pemimpin dayah perempuan. Beliau ikut mengemban tugas tambahan yaitu menjadi tenaga pengajar keliling antar desa dan antar kabupaten di Aceh. Ummi Aini, melakukan pendekatan jemput bola. Selain mengajar anak-anak remaja di dayahnya, juga ikut menjadi pengajar di meunasah-meunasah di pesisir Aceh. Fokus utama santrinya dalam dalam pengajian keliling adalah perempuan; baik usia muda maupun tua.

Dayah Muslimat berada di Gampong Putoh Kecamatan Samalanga, yang berdiri sejak tahun 1975. Didirikan oleh Teungku Abi Hanafiah Bin Abbas, Teungku Jalaluddin Bin Abi Hanafiah (Gure Jalal) dan dirinya Ummi Ainiyah. Jika dilihat dari tahun berdirinya sudah tentu dayah ini telah menghasilkan ribuan alumni yang telah berkarir dimana-mana.

Melihat ke belakang, pada masa awal perkembangan Islam, terdapat nama perempuan yang bernama Khadijah binti Khuwaylid. Salah seorang perempuan yang sangat berperan sebagai pendukung dalam dakwah dan risalah Rasul saw. Di masa selanjutnya peran perempuan menjadi semakin luas menjadi sebagai pendidik, pengajar yang secara aktif melakukan upaya-upaya transformasi nilai agama Islam di masyarakat (Syauqi Abu khalmi, 2006:248).

Di Aceh, memiliki beberapa figur tokoh perempuan yang dapat dikategorikan sebagai ulama perempuan atau Teungku Inong. Teungku Inong bisa saja muncul dari kalangan dayah maupun dari kalangan non dayah. Semangat dan intelektualitas tersebut hingga kini masih melekat pada pribadi hebat perempuan Aceh. Gambaran ini menegaskan, kemunculan ulama perempuan atau Teungku Inong di bumi yang dijuluki Serambi Mekkah telah melalui proses yang panjang dan berliku sebagai inspirasi bagi perempuan transgenerasi di Nusantara.

Lahir Dari Darah Pejuang.
Nama sebenarnya Ainiyah, tapi lebih populer nama panggilannya seperti Ummi Aini atau Mi Blang. Lahir di Blang Mane, Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireun pada tahun 1932, (89 thn). Ayahnya adalah pejuang DI/TII, bernama Nyak Petua Abbas. Sedangkan kakeknya, Panglima Perang Rayeuk Abdullah adalah pejuang Perang Aceh-Belanda yang menjadi bagian dari jihadis  yang syahid di Cot Batee Geulungku Simpang Mamplam Samalanga. Makam Teungku Dilapan, berada di jalan Banda Aceh-Medan, setiap harinya banyak di kunjungi para warga untuk ziarah.

Ainiyah kecil, masuk Sekolah Rakyat (SR) tahun 1937 di Simpang Mamplam, Samalanga, Kabupaten Bireun. Sempat berhenti sekolah, tapi setelah tujuh tahun terjadi perang agresi Jepang melanjutkan lagi Sekolah Rakyat (SR) di Blang Manee, Simpang Mamplam.

Masa kecil kehidupan Ummi Aini dilalui dengan keadaaan serba kekurangan dan kesusahan. Kesusahan itu ditambah dengan gejolak masa remajanya ketika terjadi gerakan DI/TII. Menurutnya, proses belajar ia jalani di dayah dalam keadaan ketakutan. Karena bebrapa orang dayah menjadi bagian dari  DI/TII. Berbeda dengan Konflik Daerah Operasi Militer (DOM) dan Darurat Militer (DM). Secara umum, keberdaan dayah aman dan santri bisa belajar dengan tenang dan damai, karena para kontestan konflik RI-GAM tidak menjadikan dayah sebagai objek sasaran konflik.

Sebenarnya, Ummi Aini tumbuh menjadi wanita cerdas sejak sekolah di Sekolah Rakyat (SR). Setelah selesai Sekolah Rakyat (SR). Ayahnya meminta melanjutkan sekolah lagi. Tapi Ibunya menyuruhnya melanjutkan pendidikan ke dayah. Ayahnya seorang jajaran Panglima Wilayah dalam struktur DI/TII Daud Bereueh. Namanya Nyak Petua Abbas Ben Mahmud Ben Tgk Pantee Ara. Selama pemberotakan itu, Ayahnya tinggal di gunung selama 7 tahun, termasuk ibunya. Salah satu adiknya bernama Helmiyah lahir di gunung dalam periode konflik DI/TII. Saat ini adiknya itu berdomisili di Blang Manee Kecamatan Mamplam Kabupaten Bireun. Sedangkan Ummi Aini, setelah menikah tinggal bersama suami di dayah di Samalanga. Selama menjadi santri sampai ia menikah, kalau merasa rindu kepada orang tuanya yang tak terbendung, ia menjumpai orang tuanya di pergunungan Batee Iliek, di kawasan Cot Meurah.  Beberapa kali ia ikut berkunjung pada siang dan sore hari melihat wajah orang tuanya tinggal untuk berjuang di gunung.

Dari tempat tinggalnya di dayah MUDI Mesra Samalanga ke Pergunungan Batee Iliek, menempuah perjalanan 5 sampai 7 Km dengan jalan kaki supaya dapat menjumpai dengan orang tuanya di gunung. Harus hati-hati, supaya tidak diketahui dengan berbagai pihak yang bertikai. Melewati sungai, hutan belantara supaya dapat bertemu dengan orang tuanya. Ummi Aini tidak mempertanyakan alasan orang tuanya bergerilya di Gunung. Sebagai anak, ia selalu patuh dan takzim kepada orang tuanya. Pernah pada suatu kali, ketika berkunjung melihat orang tuanya ke gunung, ia ikut jalan kaki membawa anak pertamanya. Ia bawa juga ikan keumamah dan lauk pauk untuk bekal kepada orang tuanya dan pasukan-pasukan DI/TII setiap ia ke gunung. Ketika itu Ummi Aini masih tinggal di komplek Dayah MUDI Mesra Samalanga.

Sedangkan rumah orang tuanya di Blang Manee telah dibakar oleh Tentara Indonesia, karena ayahnya menjadi salah satu panglima wilayah dalam jajaran  DI/TII Daud Beureueh. Begitu juga dengan rumah Teungku Bad di Tanjongan Samalanga juga ikut dibakar oleh Tentara Indonesia. Berbeda dengan Abu Syik Muhammad, ia di tembak sampai meninggal, tapi rumahnya tidak dibakar, sampai sekarang masih ada rumah itu dapat dilihat sebagai saksi atas permberontakan DI/TII di Samalanga.

Baca Juga:  Bujang Salim: Jejak Pejuang Aceh Di Papua

Ummi Aini bukan saja menjadi pengajar untuk kecerdasan perempuan-perempuan dewasa di Aceh. Tapi ia juga aktif organisasi-organisasi keagamaan. Salah satunya ia menjadi  wakil ketua Al-Wasliyah Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireun pada tahun 1980. Dalam proses pengajarannya ke desa-desa, kadang-kadang laki-laki dewasa juga ikut mendalami pengajaran ilmu agama yang ia berikan. Rata-rata muridnya yang laki-laki menjadi imum meunasah. Seperti misalnya Haji mahmud di Cot Meurak Samalanga yang lama menjadi Teungku Imum adalah anak didikannya.

Guru ideologis Ummi Aini adalah pendiri Dayah MUDI Mesra Samalanga Teungku Hanafiah atau sering dikenal dengan sebutan Teungku Abi. Teungku Abi Hanafiah menjadi inspirasi bagi Ummi Aini yang sangat serius dalam mengajarinya belajar. Setelah menjadi murid Teungku Abi selama 3 tahun. Kemudian Ummi Aini dipersunting oleh anak Teungku Abi Hanafiah sendiri yaitu Teungku Jalaluddin atau sering di panggil dengan sebutan Gure Jala. Mereka mengikat janji setia pada tahun 1954 dalam situasi konflik “pemberontakan” DI/TII Daud Beureueh. Tapi walau sudah berkeluarga tidak menghambat jadwal mengaji dengan Teungku Abi. Rutinitas belajar dengan Teungku Abi terus ia lakukan sampai dengan ia melahirkan anak pertamanya tahun 1957.

Ainiyah: Ummi Ummul Ayman.
Sisi lain dari kontribusinya adalah menjadi ibu dari anak yatim korban konflik di Samalanga. Ummi Aini bukan saja sebagai inspirasi dan kesetiaan mengajar perempuan dewasa di desa-desa. Tapi juga menjadi Ummi Ummul Ayman (Ibu Anak Yatim). Dialah menjadi perempuan pertama di Aceh yang membuat perayaan anak yatim (Hari Anak Yatim) setiap tahunnya dalam bentuk “Peuremeun Aneuk Yatim” yang telah digagasnya sejak tahun 1986 di Dayah Muslimat Putri Samalanga. Kelak nama Ummul Ayman menjadi nama dayah dari menantunya, Teungku Nuruzzahri  (Waled NU), yang juga alumni generasi kedua (perkembangan) Dayah MUDI Mesra Samalanga.

Perayaan hari anak yatim yang digagas dan dilakukan oleh Ummi Aini dilaksanakan 1 Muharram setiap tahunnya. Awal ide perayaan hari anak yatim ini adalah dilakukan sebagai bentuk atas fakta sosial banyak anak yatim korban konflik di Samalanga Kabupaten Bireun, terutama di kemukiman Masjid Raya. Atas dasar itulah ia berbagi santunan dan kecerian dengan anak-anak yatim. Awal-awal perayaan hari anak yatim, Ummi Aini mengumpulkan setiap tahun anak yatim 100-200 orang anak untuk berbagi cerita kesenangan dan santunan. Sampai sekarang “hari anak yatim” itu masih dilakukan secara reguler setiapa tahunnya, dalam jumlah yang lebih banyak. Warga disekeliling dayah juga sudah ikut berpatisipasi dan berkontribusi dalam perayaan hari anak yatim. Dimana setiap 1 Muharram, orang-orang desa menggalang dana secara mandiri dari rumah-rumah, semampu mereka dalam bentuk uang, padi dan beras untuk kemudian dikumpulkan diberikan santunan kepada anak-anak yatim pada malam hari puncak perayaan hari anak yatim pada 1 Muharram.

Salah satu yang merasakan kepedulian dari gagasan Ummi Aini adalah Dr M Adli Abdullah. Menurut M Adli, Ummi Aini sangat peduli dengan anak yatim. Dirinya sering di ajak makan ke rumah Ummi Aini dan sangat lemah lembut dengan anak yatim. Bagi M Adli, Ummi Aini adalah inspirasi dalam hidupnya dalam berbagi kecerian dan kelebihan harta yang dimilikinya. Dulu, setiap menjelang perayaan hari anak yatim, berdasarkan pengalaman Teungku Adli, Ummi Aini menjemput setiap anak yatim di desa-desa di Samalanga, untuk  kemudian di kumpulkan di Dayah Muslimat Putri, lalu diberi makanan, ada yang di bungkus untuk dibawa pulang, diberikan sarung shalat, baju baru dan uang jajan sekolah.

Ummi Ainiyah bukan saja menjadi ibu anak yatim. Tapi guru atau guree bagi banyak orang di Kabupaten Bireun, Kabupaten Pidie, Kabupaten Pidie Jaya dan Aceh pada umummnya. Al-Ghazali memberikan pandangan seorang guru (guree) harus mempunyai beberapa sifat diantaranya: bersifat kasih sayang dan lemah lembut, bersikap kebapakan/keibuan, ikhlas dan tidak mengharapkan upah, mampu menjadi pembimbing yang jujur dan terpercaya, tidak pemarah, mampu menjadi teladan, memamahi kemampuan murid, mengetahui perkembangan jiwa anak, memegang teguh prisip dan disiplin (Fathiyah Hasan Sulaiman, (1986:43-51).

Begitu juga dengan Hamka berpandangan bahwa seorang guru (guree) hendaklah memiliki sifat lemah lembut, tidak keras hati, pemaaf, bermusyawarah dan tawakkal serta memiliki sifat zuhud, ikhlas, kebapakan, mengetahui sifat murid dan menguasai pelajara (Hamka, 1983:126). Seorang guru tidak boleh di dewa-dewakan baik ketika masih hidup maupun sesudah ia meninggal dunia, karena bagaimanapun guru adalah manusia biasa. Sikap yang berlebihan terhadap guru akan membawa pemujaan kepada sang guru, hal ini diungkapkan oleh al-Razi yang dikutib dari Hamka (Hamka, 1983:179).

Semua prototype yang disebut oleh Al-Ghazali, Hamka dan Al-Razi dimiliki oleh sosok Ummi Ainiyah. Sebagai perempuan tangguh dari Aceh dalam melahirkan Teungku Inong di Aceh. Dalam sejarah Aceh paska kemardekaan Republik Indonesia tahun  1945, sedikit sekali perempuan yang memiliki kapasitas memimpin dayah atau dikenal dengan sebutan Teungku Inong. Tapi salah satunya yang dikenal sebagai pemimpin dayah perempuan adalah Ummi Ainiyah. Mulai sejak tahun 1975 sampai tahun 2019.  Ia menjadi pemimpin Dayah Muslimat Putri Samalanga Kabupaten Bireun, dalam kepemimpinannya, dibantu oleh dua orang anak laki-lakinya sebagai wakil kepememimpin dayah muslimat; Tu Muhammad dan Tu Ahmadullah.

Dalam usianya terus menua, tidak menyurut pengabadiannya terus mengabdi kepada perempuan-perempuan Aceh. Memang volume mengajar kelilingnya sudah dibatasi, tidak sejauh masa mudanya sampai ke Tangse Kabupaten Pidie. Sekarang ia hanya mengajar setelah shalat subuh untuk para santrinya. Kitab yang dibahasnya pun kitab Tafsir Baizawi.

Sepak terjangnya sebagai Teungku Inong yang mengajar dari antar desa dan antar kabupaten di Provinsi Aceh terus dikenal publik. Kesadarannya akan mobilisasinya karena usia, maka ia menyiapkan generasi penerusnya untuk menjadi pengabdi khususnya pengajar perempuan dan anak yatim. Saat ini ia telah menyiapkan penggantinya untuk mengantikannya dalam setiap pengajian antar desa dan antar kabupaten di Aceh, seperti Teungku Tu Zainab, Teungku Tu Halimah, Teungku Fadliana, Teungku Raziati.

Memang sudah ribuan alumni yang dihasilkan dari sosok Ummi Aini sebagai bentuk kontribusinya kepada peradaban baru di Aceh. Kemanapun ia pergi selalu memiliki santri yang pernah diajarinya. Kebanyakan santrinya memang menjadi istri-istri ulama terkemuka atau pemimpin dayah lainnya di Aceh.

Baca Juga:  Satu Dekade Persahabatan dengan Profesor Bahrein T. Sugihen

Namun dibalik itu, terdapat juga santrinya yang terlibat dalam peperangan Aceh menjadi Tentara Inong Balee dalam periode konflik 1976-2005 antara GAM-RI. Alumninya yang terlibat menjadi tentara Inong Balee ada yang khusus datang meminta restu kepadanya, tapi menurutnya mayoritas dari mereka yang terlibat dalam Tentara Inong Balee itu adalah ikut suami atau ikut keluarga besarnya karena menjadi korban konflik. Terdapat juga alumni santrinya yang menjadi Tentara Inong Balee yang ia temuai sendiri dalam sweeping  GAM dan Inong Balee waktu Darurat Militer tahun 2002 di Jalan Banda Aceh-Medan kawasan Cot Batee Geulungku Kabupaten Bireun.

Ummi Aini: Tokoh Pendidikan dan Kebudayaan Aceh.
Sebagai Teunku Inong, Ummi Aini tidak saja menjadi pengajar yang setia menunggu santrinya di balai pengajian. Tapi ia sosok perempuan pejuang yang menjemput bola, mendatangi desa-desa, menjadi pengajar di meunasah dan tempat publik lainnya di Aceh. Hal ini dilakukannya supaya perempuan dewasa yang telah berkeluarga yang telah memiliki suami dan anak, yang menetap di desa-desa di Aceh, memiliki kesempatan memperoleh pengetahuan agama terus menerus.

Menurut pengakuannya, strategi ini bukan pilihannya. Tapi pilihan dari gurunya Teungku Abi Hanafiah. Supaya Ummi Aini fokus mengajar perempuan di desa-desa. Mulai dari desa disekitar dayah sampai dengan desa-desa kabupaten tetangga seperti Pidie. Rutinitas menjadi pengajar perempuan keliling dari satu desa ke desa lainnya telah ditekuninya puluhan tahun. Sampai tak tahu lagi berapa sudah muridnya. Karena semua perempuan di seputaran samalanga dan Pidie Jaya menjadi santrinya.

Ummi Ainiyah juga membagi tips mengajar orang dewasa.  Kalau gurunya tua, santrinya tua itu memudahkan mengajar. Walau tips itu disampaikan sambil berkelakar. Tapi ada benarnya, karena orang dewasa akan lebih senang diajarkan oleh guru yang sudah dewasa juga. Materi yang sering di ajarkan dalam setiap pengajian kepada perempuan-perempuan dewasa adalah tentang fikih, tauhid, dan tasawuf dan amalan lainnya yang praktis dan aplikatif. Strategi mengajar perempuan dewasa menurutnya tidak boleh marah-marah, dan harus pelan-pelan. Kesabaran sangat menentukan untuk bertahannya kelompok pengajian keliling dari satu desa kepada desa lainnya. Beda dengan mengajar santri di dayah di komplek, pada usia sekolah, kita harus tegas supaya pembelajaran dapat berlangsung secara sistematis dan menumbuhkan spirit belajar mereka.

Kendala mengajar orang dewasa memang harus sabar, karena perempuan dewasa lama sekali bisa mengerti. Untuk itu sebagai pengajar di tuntut harus sabar dan pelan-pelan dalam menyampaikan materi-materi pengajiannya. Selain menjadi pengajar dayah keliling. Ummi Aini juga sangat aktif dalam kerja hidup dan kerja mati. Begitu ia memberi istilah untuk rutinitas lain yang dikerjakannya. Kerja hidup ia terlibat dalam walimah, khanduri dan lainnya. Untuk rutinitas mati seperti memandikan shalat janazah, takziah dan beragam jenis kegiatannya. Bagi ummi Aini, ia memiliki prioritas dalam setiap kerja-kerja sosial keagamaan seperti itu.  Makanya warga desa di sekeliling dayah sangat bergantung dengan keberadaan Ummi Aini.

Pasangan Ummi Aini dan Jamalaluddin dikarunia 7 anak laki-perempuan. Dua anaknya meninggal pada usia kecil. Awal-awal Ummi Aini menjadi guru dalam pendidikan dayah, situasi Aceh berada dalam konflik DI/TII. Tapi tidak menurun semangatnya untuk terus menjadi pengajar di dayah. Malah karena komitmennya yang terus menjadi pengajar ditengah situasi yang tidak menentu. Mendapat perintah dari gurunya Teungku Abi Hanafiah untuk mengajar kepada perempuan di desa-desa. Ia tidak membantah apalagi membuat alasan supaya diberi tugas mengajar dalam komplek dayah saja. Malah perintah mengajar perempuan-perempuan yang berada di desa-desa menjadi cambuk untuknya mengajar yang lebih baik.

Dalam sebuah pertemuan khusus, Teungku Abi Hanafiah sebagai pemimpin Dayah MUDI Samalanga mengatakan kepadanya, “Beut, pebeut pebeuet masyarakat, pereno perenoe masyarakat” (belajar dan ajarkan masyarakat). Seperti itu pesan khusus Teungku Abi Hanafiah kepada Ummi Aini. Bukan saja mengajar, Ummi Aini juga disuruh masuk tariqat. Ia tidak juga membantah selalu menjalankan perintah gurunya. Dalam tradisi dayah, perintah guru selalu bermuara kepada kebaikan dan keberkahan. Makanya santri tidak akan membantah apalagi tidak mengerjakan arahan-arahan dari gurunya. Sampai sekarang ia juga membantu memfasilitasi tempat suluk bagi perempuan dewasa di dayahnya.

Pemimpin Dayah Muslimat: Sumber Produksi Teungku Inong.
Samalanga dikenal sebagai daerah perjuangan sejak dulu di mana tidak sedikit para pejuang dan ulama yang syahid dalam membela agama dan negaranya dari kaum penjajah. Kota dimana dayah Muslimat barada dijuluki sebagai “kota santri. Bukan saja Dayah Muslimat, di Samalanga juga berada  Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga, Dayah Ummul Aiman dan lainnya. Di Aceh secara umum, hanya di Dayah Muslimat yang pelajarnya khusus dididik dari kalangan perempuan.

Dalam perkembangannya untuk merespon perkembangan zaman, Ummi Aini selalu berfikir dinamis sesuai dengan perkembangan pendidikan dan kebudayaan bangsa. Dulu dayahnya berbentuk salafiyah. Kini ia kembangkan sistem dikotomi antara salafiyah (tradisional) dan khalafiyah (modern) dalam satu sitem keterpaduan. Dengan sistem dikotomi, dimana anak-anak bisa belajar belajar kitab setiap pagi dan malam sebagai implimentasi kurikulum di dayah tradisional. Sedangkan siang hari mereka belajar di bangku sekolah sebagai dari kewajiban memenuhi simtem sekolah umum dalal satu komplek dayah.

Berdiri dari konsep dan visi perbaikan amalan perempuan dan kasih sayang anak-anak yatim, Dayah Muslimat terus berkembang dibawah sentuhan Ummi Aini. Pada awal pendirian Dayah Muslimat santrinya sejumlah 100 orang sampai menjelang tahun 1980 santri perempuan di Dayah Muslimat lebih kurang mencapai 700 orang santri. Sekarang setiap tahunnya mendidik 2500 santriwati. Mereka semua di didik oleh para pengajar senior dibawah bimbingan langsung Ummi Aini. Jadwal belajar santrinya setelah subuh, setelah zuhur, setelah magrib, dan setelah shalat Insya.

Dayah Muslimat, pada kalangan kemukiman Masjid Raya Samalanga disebut dengan kawasan Lampoh Cawiek. Tanah kosong yang kemudian berubah menjadi Dayah Putri Muslimat. Sekarang pengajiannya sudah dalam bentuk ruangan dan sistemnya juga sudah di kombinasikan antara tradisional dan modern. Untuk pengajian di desa-desa baru, kitab yang menjadi pengajarannya seperti kitab sibilai, darussalikin, darussamin.

Menurut Ummi Aini, secara kultural kepemilikan dayah MUDI Mesra Samalanga dan Dayah Muslimat Putri Samalanga itu kewarisannya berada pada almarhum Tgk Yusuf, atau sering dipanggil Tgk Mah Usuh. Beliau yang pertama sekali memimpin Dayah MUDI Masjid Raya. Kepemimpinan kedua diwarisi oleh Teungku Abi Hanafiah. Kepemimpinan ketiga diwarisi oleh Teungku Syahbuddin, karena Teungku Abi Hanafiah melanjutkan ilmu agama ke Timur Tengah. Ketika Teungku Abi Hanafiah kembali ke Aceh, beliau kembali menjadi pemimpin Dayah MUDI Mesra Samalanga, kewarisan keempat anaknya Tgk Abi Hanafiah yaitu Tgk Jalaluddin (Gure Jalal), lalu dilanjutkan kepemimpinan kepada menantunya Tgk Abdul Aziz, sekarang berada dibawah kepemimpinan Teungku Hasanoel Basry.

Baca Juga:  Sekelumit Persahabatan Dengan Profesor Alyasa' Abubakar

Teungku Hanafiah  disebut juga dengan Teungku Ribee. Beliau adalah ulama besar Aceh yang menjadi pemimpin Dayah MUDI Mesra Samalanga pada generasi pertama, lahir di Pineng Ribee Samalanga Kabupaten Bireun. Nama ayahnya, Ibnu Abbas. Salah seorang Panglima Perang Muslimin pada periode peperangan Aceh-Belanda. Sehingga Teungki Abi Hanafiah mengikuti jejak orang tuanya, sejak kecil sudah hidup di pergunungan mengikut jejak orang tuanya dalam perjuangan.

Menurut Ummi Aini, Teungku Abi Hanafiah di khitan (sunat) pada sebuah lokasi di pergunungan sekitar kecematan Peudada. Karena orang tuanya bergerilya di gunung. Ayahnya Teungku Abi Hanafiah akhirnya meninggal di Pergunungan Peudada dalam periode konflik Aceh-Belanda

Sedangkan Ibu dari Teungku Abi Hanafiah bernama Nek Patek.  Neuk Patek juga lahir di Pineng Ribee Kecamatan Samalanga. Beliau bukan saja sebagai istri dan Ibu dari anak-anaknya. Tapi juga ikut menjadi pemimping perang mendampingi suaminya. Selain itu, Nek Patek juga pandai memasak ikan keumamah dan membuat emping. Dalam sebuah operasi militer Tentara Belanda di Pergunungan Peudada, ditemukanlah Teungku Abi Hanafiah oleh tentara Belanda karena terpisah dengan rombobangan orang tuanya.  Ia di tangkap, tidak dipukul malah dimasukkan sekolah Belanda di Peudada. Tidak lama kemudian, orang tua Teungku Abi Hanafiah meninggal. Lalu Tentara Belanda menyerahkan Teungku Abi Hanafiah kepada orang Aceh lainnya di Calok Simpang Mamplam Samalanga. Disitulah Teungku Abi Hanafiah belajar agama hingga ke Blang Kuta Ulee Glee Kabupaten Pidie Jaya hingga ke Timur Tengah.

Rekam Jejak Teungku Inong di Aceh.
Menjadi Teungku Inong tidak mudah, butuh energi yang lebih. Karena selain menjadi Teungku Inong juga dalam waktu bersamaan menjadi seorang istri, ibu dan pemimpin sosial keagamaan bagi warga desa. Begitu juga dengan Teungku Inong sebagai pemimpin dayah. Perkembangan dayah selalu dipengaruhi oleh fenomena sosial sehingga dayah rentan mengalami kemunduran. Maka Teungku Inong yang menjadi pemimpin dayah harus memiliki pengetahuan yang cukup dan cerdas dalam pergaulan sosial serta berani dalam merespon setiap perkembangan ilmu pengetahuan.

Itulah yang tantangan Teungku Inong di Aceh seperti yang dilakoni oleh Ummi Aini dalam menjadi menjalankan fungsunya sebagai pemimpin dayah. Sistem pengelolaan dayah dulu dengan sekarang menurutnya sangat jauh berbeda. Kalau dulu, pimpinan dayah memfokuskan waktu untuk mengajar para guru dan aktif mengayomi anak didik, dalam hal pembangunan, santri menyediakannya sendiri, seperti bilek (asrama) dan fasilitas lain. Santri yang mondok cuma meminta izin dari pimpinan untuk mendirikan bilek dan bilek di dayah dan menjadi milik dayah kalau santri sudah pindah atau tidak lagi mendiaminya. Rasa memiliki dayah sangat ditanam dalam jiwa santri sehingga kepekaan pun tumbuh.

Setiap tantangan yang muncul dalam dunia pendidikan dayah selalu dimanfaatkan menjadi peluang bagi pengembangan tradisi dayah itu sendiri. Harus diakui bahwa dalam sejarah Aceh selalu mewarisi pengetahuan dan pembelajaran.  Model kepemimpinan Sultanah di masa lalu terus bergema dalam jiwa orang Aceh, seperti halnya aktivitas heroik perempuan dalam perlawanan terhadap penindasan kolonial. Warisan ini layak untuk dijelajahi lebih dalam, dan pelajaran yang diambil dari itu dibuat untuk memeriahkan dan menata kembali hubungan Teungku Inong dan Teungku laki-laki dalam pengembangan pendidikan agama di Aceh (Asna Husin, 2014:63).

Pengalaman Ummi Aini menjadi Teungku Inong sebagai pemimpin dayah perempuan di Aceh. Ditambah dengan menjadi pengajar agama berbasis kitab-kitab dayah klasik kepada perempuan-perempuan di desa-desa di Aceh.  Konsistensinya dalam mendidik dan mengembangkan anak-anak yatim saat konflik hingga damai. Menjadikannya sebagai ingatan sejarah dalam pengembangan kebudayaan dan pendidikan Aceh Islam di Aceh.

Prinsipnya Teungku Inong ikut membawa berbagai bentuk-bentuk pengetahuan baru, yang dapat mereka komunikasikan ke komunitas-komunitas mereka dengan bahasa mereka sendiri, yang berbasis pada pengetahuan dayah untuk mengindari perdebatan. Tapi yang lebih penting lagi adalah eksistensi Teungku Inong tidak hanya patuh pada keluarga, tetapi lebih kaya dan kontekstual (Eka Srimulyani, 2014:76).

Kompleksitas atas kehadiran Teungku Inong pada periode Aceh saat ini, harus bercermin pada nilai-nilai yang telah dibangun dari sosok perempuan di Aceh, salah satunya adalah Ummi Ainiyah. Karena ia bukan saja mampu menjadi istri yang setia bagi almarhum suaminya, ibu yang baik bagi anak-anaknya, dan yang lebih penting adalah menjadi inspirasi bagi banyak orang. Terlebih seorang Teungku Inonong seperti Ummi Aininyah, juga cakap dalam menjalankan tugasnya sebagai  pemimpin dayah dan berperan dalam memperkuat keakraban sosial yang terdapat dalam masyarakat sekitarnya.

Aceh tidak pernah putus mewarisi perempuan tangguh. Baik pada masa penjajahan, awal kemardekan hingga paska kemardekaan. Salah satu perempuan tangguh itu adalah Ummi Ainiyah sebagai Teungku Inong Dayah di Aceh yang konsisten memainkan perannya pada semua level dan konteks sosial sebagai ruang pembelajar bagi generasi setelahnya.[]

NOTE: Awalnya tulisan ini adalah laporan lapangan Mukhlisuddin Ilyas untuk Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh (BPNB) Aceh, Tanggal 30 Agustus 2018. Narasumber kunci dalam tulisan ini adalah Ummi Ainiyah, yang meninggal dunia pada tanggal 21 Desember 2019. Alfatihah.

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Tunggu Sedang Loading...