Take a fresh look at your lifestyle.

Teuku Hamid Azwar: Pahlawan Tanpa Mengharap Dikenal

Oleh: M Adli Abdullah, P.hD.
Dosen Hukum Adat Universitas Syiah Kuala, Alumnus Historical Departement, School Humanities, USM Penang.

Pada tahun-tahun perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, Aceh telah menukilkan peristiwa peristiwa kepahlawanan besar. Untuk menegakkan dan mempertahankan negara Republik Indonesia proklamasi 17 Agustus 1945, yang terus menerus di gempur tentera Belanda untuk menghancurkannya. Rakyat Aceh tampil di medan perjuangan dengan gigih mempersembahkan baktinya.

Bahkan, sebelum menghadapi tentera Belanda, mereka lebih dahulu bertempur dengan tentera Jepang untuk merebut senjata sebagai modal perjuangan untuk menentukan hidup matinya Republik Indonesia.  Berita proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 yang disampaikan oleh Soekarno Hatta di Pegangsaan Timur, Jakarta tidak serta-merta diketahui daerah-daerah yang jauh seperti Aceh. Kondisi negeri yang dilanda perang dan masih bercokolnya Jepang membuat informasi terkontrol ketat. Di Aceh, secara resmi berita proklamasi itu baru diketahui pada 29 Agustus 1945, dibawa oleh  Mr Teuku Muhammad Hasan dan Dr M Amir dari Jakarta. Kedua orang ini mewakili Pemerintah Pusat Republik Indonesia untuk seluruh Sumatera.

Sejak proklamasi kemerdekaan Republik Indonnesia 17 Agustus 1945 sampai dengan pengakuan kemerdekaan Republik Indonesia oleh pihak antarabangsa pada tanggal 31 Desember 1949. Pejuang pejuang Republik Indonesia dari Aceh terus mampu mempertahankan wilayahnya dari pendudukan kembali oleh Belanda yang dibantu oleh tentara sekutu.

Sehingga Jenderal Besar A.H. Nasution mantan Menko Hamkam/KASAD menyatakan  “Aceh adalah daerah di Sumatera yang paling sempurna melaksanakan Proklamasi 17 Agustus 1945 berkat ketegasan pimpinan Teuku Nyak Arief dan kawan-kawan dan semangat kemerdekaan rakyat yang eksploisif yang pada tiap kesempatan meledak untuk merebut kemerdekaan kembali. Adalah aneh nampaknya, justru daerah yang paling jauh dari pusat, yang dapat berbuat demikian, yakni yang jauh dari pimpinan dan yang kurang sekali menerima instruksi-instruksi. Justru hal yang demikian membuktikan proklamasi sudah kehendak seluruh rakyat dan bukan bikinan Soekarno-Hatta dan Panitia persiapannya saja. Mereka hanya menyalurkan. Di Aceh ini jauh lebih maju dan lebih konsekuen daripada di Jakarta sendiri tempat pimpinan Soekarno-hatta.[2] Salah satu tokoh yang sangat besar pengaruhnya dalam perjuangan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia pada masa-masa sulit tersebut adalah Teuku Hamid Azwar.

Hamid Azwar Kecil
Kenegerian Samalanga yang wilayah kekuasaannya dulunya berbatasan dengan dua sungai; yaitu sebelah barat dengan Sungai Ulim (Pidie Jaya) dan sebelah timur dengan Sungai Jeumpa (Blang Blahdeh, Bireun) dan sebelah utara dengan Selat Melaka dan selatan dengan deretan bukit di sebelah selatan, dipimpin oleh seorang Ampon Chik dan Ampon Chik pertama adalah Datuk Bendahara tun Muhammad Sari Lanang (1613-1659 M).[3] Ampon Chik kedua T. Chik di Blang Panglima Perkasa (1659-1697), Ampon Chik ketiga Teuku Chik Idris Perkasa (1697-1659), Ampon Chik keempat Teuku Chik Djafar Alam Sjah Poetih (1759-1819), Ampon Chik kelima Teuku Chik  Keulembak Jauhar Perkasa (1819-1838), Ampon Chik keenam Teuku Chik Ali Djauhar Perkasa (1838-1873M), Ampon Chik ketujuh Teuku Chik Muda Boegih (1873-1896M), Ampon Chik ke delapan Teuku Chik Muhammad Ali Basyah (1896-1920M) dan  Ampon Chik ke Sembilan Teuku Chik Muhammad Bahrumsyah (1920-1948M).

Teuku Hamid Azwar adalah anak dari Ampon Chik Samalanga ke 8, Teuku Chik Muhammad Ali Basyah. Ampon Chik ke delapan ini  mempunyai empat orang isteri. Pertama, Cut Nyak Hajjah Ummi Kalsum alias Cut Nyak Po dari Meuraksa Aceh Besar,  memperoleh 4 orang anak yaitu Teuk Chik Muhammad Bahrumsyah, Teuku Ahmad Danu (Ahmad Jeunib), Cut Nyak Cut Alawiyah (Isteri Teuku Laksamana Umar, Uleebalang Lueng Putu) dan Teuku Hamid Azwar. Kedua, Pocut Tihawa memperoleh 6 anak yaitu Pocut Hajah Asma, Teuku Muhammad Hasan Pocut Manna, Teuku Haji Husin, Teuku Haji Zainun dan  Pocut Isyah. Isteri ketiga, Pocut Kancan dianugerahi dua anak yaitu Teuku Sulaiman dan Pocut Baniah. Keempat, Cut Nyak Sabawah tetapi  tidak mempunyai keturunan.

Teuku Hamid Azwar dilahirkan pada tahun 1916 M, dengan nama kecil Teuku Abdul Hamid, nama ini diambil dari nama anak ulama terkenal di Samalanga saat Abdul Hamid yang kemudian terkenal dengan nama Ayah Hamid Samalanga,  anak dari Syeikh Tengku Idris mufti kenegerian Samalanga saat itu, sedangkan Azwar berasal dari nama Hajar Aswad di Mekkah, kemudian berubah menjadi Azwar. Selanjutnya nama Azwar melekat pada nama Teuku Abdul Hamid.

Teuku Hamid Azwar menikah dengan Cut Nyak Manyak Keumala Putri  alias Cut Djariah Puteri Teuku Ali Basyah, Uleebalang Peukan Bada, Aceh Besar pada tanggal 9 September 1941. Perkawinan ini dianugerahi 5 orang anak yaitu Teuku Syahrul Azwar, Cut Nyak Haslinda Azwar, Teuku Saiful Azwar, Cut Hilda Azwar (meningga pada masa agresi Militer Belanda kedua di Bukittinggi), dan Teuku Verdi Azwar. Sedangkan pernikahannya dengan Cut Nyak Ubiet alias Cut Asiah tidak memperoleh keturunan.

Pada tahun 1921, Ampon Chik Muhammad Ali Basyah berangkat haji dan Hamid kecil dititipkan pada pamannya Teuku Teungoh Meuraksa. Pamannya ini,  meminta Teungku Abdussalam Meuraksa, Teungku Zainun dan Teungku Muhammad Saleh mengajar agama untuk kemenakannya ini. Sedangkan pendidikan formal di kirim ke Volkschool Ulee Lheu, Selanjutnya ke Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Peunayong, dilanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Hamid dikeluarkan dari MULO  karena kedapatan membawa photo Bung Karno ke sekolah.[4] Di MULO ia sekelas dengan Prof. Dr. Usman Ralibi, Dr. T. Tajaluddin (Ginekolog), Letjen (Purn) Teuku Aziz (mantan Waka-Polri) dan BM. Diah (mantan Menteri Penerangan RI).

Pendiri Parindra Aceh
Setelah dikeluarkan dari MULO, Hamid Azwar melanjutkan sekolah ke Taman Siswa. akibatnya dia memperoleh  bahan pelajaran dan ceramah-cerama tokoh tokoh nasional dan mengenal lebih dekat dengan Bung Karno. Kemudian pada tahun 1939, membuka cabangnya di Aceh dan menjadi partai politik pertama yang dipimpin oleh Teuku Hamid Azwar diusianya 24 tahun dia diangkat sebagai ketua Parindra di Samalanga oleh Dr. Sutomo dan Titalay, Inspektur Aceh Trem, diangkat sebagai Ketua Parindra di Kutaraja. Saat itu hanya ada dua cabang Parindra di Aceh yakni di Kutaraja dan Samalanga (Bireun).

Baca Juga:  Mawardi Ismail: Dosen Ahli Segalanya

Pada tahun yang sama, para ulama mendirikan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), sebuah organisasi anti-Belanda di Aceh. Kegiatan Parindra di Aceh untuk menuntut Indonesia Merdeka, telah cukup memusingkan PID (Politiek Inlichtingen Dienst) Polisi Rahasia Belanda. Parindra adalah hasil peleburan BPI (Barisan Pemuda Indonesia) dan Budi Utomo dibawah pimpinan pusat Dr. Sutomo dan M.H Thamrin. Disamping organisasi-organisasi perjuangan kemerdekaan lainnya yang datang dari Jawa seperti Budi Utomo, Sarikat Islam, Insulinde, Taman Siswa, Jong Islamieten Bond (JIB) dan Muhammadiyah.

Dr. A.J. Piekaar dibukunya Atjeh En De Oorlog Met Japan menyatakan “In Samalanga Ultimo Februari werd door enige vooraanstaande personen in dit landschap een ‘Parindra’ groep apgericht. Tot de promotors behoorden o, a Teukoe Abdul Hamid” yang berarti: Di Samalanga, pada hari terakhir bulan Februari, di daerah ini dibentuk sebuah partai ‘Parindra’ oleh beberapa orang terkemuka dengan tujuan utama untuk membentuk sebuah badan usaha kerja sama. Salah seorang promotornya adalah Teukoe Abdoel Hamid.[5] Akibatnya, Ampon Chik Samalanga, Teuku Chik Muhammad Bachrumsyah, mendapat teguran keras dari Asisten Residen Belanda atas sikap adik bungsunya Teuku Hamid Azwar.

Dimasa pendudukan Jepang, Hamid Azwar diangkat sebagai Uleebalang Cut Jeunib  pada tahun 1943 diusia 25 tahun mengikuti latihan militer Giyu Gun sebagai Korps Kesatuan Tentara Pembela Tanah Air di Kuta Raja dibawah komando Mayor Omura guna mempelajari siasat dan organisasi militer Jepang. Pada generasi pertama, Hamid Azwar diberi pangkat Giyu Syoi atau Letnan dua bersama 16 perwira lainnya 16 dari Aceh dan 2 orang dari Sumatera Timur.

Perwira Giyu Gun dari Aceh terdiri dari Teuku Hamid Azwar, Syamaun Gaharu, Nyak Neh Rika, Said Usman, T Sarong, T Abdul Rahman, T. M Daud Samalanga, T Muhammad Syah, Bachtiar Dahlan, T Usman Yakob, T Cut Rahman, Wahab Makmur, M Nazir, Hasan Ahmad Meulaboh, Razali, Nyak Hukom. Sedangkan dariSumatera Timur Ahmad Tahir, dan Hotman Sitompol. Generasi kedua menyusul Husin Yusuf, Hasballah Haji, T Hamzah Bendahara, Said Ali, Ismail mangki, Hasbi Wahidy, Nurdin Sufi, Nyak Adam Kamil dan T A Hamdani dll.

Paska Proklamasi 17 Agustus 1945
Pengumuman Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Teuku Hamid Azwar setelah menunaikan shalat Jumat di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh bertemu Syamaun Gaharu, Said Ali, Said Usman dan Teuku Sarung Lamnyong di Jalan Muhammad Jam Banda Aceh. Mereka bincang-bincang tentang Kompi Giyu Gun yang dibubarkan dua hari yang lalu pada 15 Agustus 1945, dalam apel singkat oleh komanda kompi Maeda Chui.

Pada tanggal 20 Agustus 1945, pesawat sekutu terbang melayan di angkasa Aceh menyebar pamphlet bahwa Jepang mengalami kekalahan melawan sekutu dan Belanda akan mengatur pemerintahan negeri ini seperti sedia kala.[6] Pada 23 Agustus 1945, Mayor Jendral Shazaburolino, Chokang (Residen) Jepang di Aceh mengundang lima tokoh Aceh ke kediaman resminya di pendopo yaitu Teuku Nyak Arif, Teuku Muhammad Ali, Panglima Polim, Teuku Ahmad Jeunib (abang Teuku Hamid Azwar), Teungku Muhammad Daud Beureueh dan Said Abu Bakar. Di pertemuan itu, Shazaburolino mengatakan Jepang telah berdamai dengan sekutu. Jepang tidak kalah, tapi berdamai.”[7]

Ketika para tokoh pulang dari pendopo, mereka menyampaikan perkataan residen itu kepada masyarakat. Namun, Teuku Nyak Arif, Residen Aceh pertama, mempertegas apa yang disembunyikan Jepang. Jepang sudah kalah perang, tapi mereka malu mengakuinya. Memang sampai saat itu, rakyat Aceh tetap belum mengetahui tentang kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamasikan di Jakarta. Saya kira Residen Shazaburolino tahu tentang hal itu, namun ia merahasiakannya. 24 Agustus 1945, Shazaburolino mengumumkan kepada masyarakat sebuah maklumat. Isinya, “bahwa peperangan Asia Timur Raya sudah berakhir dan kemaharajaan Dai Nippon telah bersedia melangsungkan perdamaian dengan Amerika, Inggris, Rusia, China.

Dipihak lain, Teuku Hamid Azwar bersama Syamaun Gaharu dan teman-temannya telah mendapat infomasi bahwa Soekarno Hatta telah memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia  pada tanggal 17 Agustus 1945, mereka sepakat bahwa pertama, tentara Jepang harus mereka keluarkan dari Aceh dan kedua, Belanda jangan dibiarkan masuk ke Aceh sampai titik darah terakhir. Untuk menguatkan rencana ini Teuku Hamid Azwar, Syamaun Gaharu bersama Perwira Giyu Gun lainnya, mendirikan Angkatan Pemuda Indonesia (API) pada 27 Agustus 1945.[8] API ini kemudian diresmikan sebagai “Pasukan Resmi Negara” oleh Residen Teuku Nyak Arief pada tanggal 12 Oktober 1945 berkedudukan di Kuta Raja Komandan Syamaun Gaharu dan Kepala Staf Teuku Hamid Azwar  Sekretaris Husin Yusuf. Anggota Nyak Neh Rika, Said Usman, Said Ali, T. M Daud Samalanga, Teuku Sarong, Bachtiar Idham, T Abdullah (PM) dan Salman. Dengan delapan wakil Markas Daerah Seluruh Aceh.

Usahanya yang pertama merebut senjata Jepang, bahkan dalam kapasitas sebagai Kepala Staf API/TKR, Teuku Hamid Azwar memimpin langsung pasukan tempur, baik ketika mengalahkan satu batalyon tentara Jepang pada masa pertempuran Krueng Panjo yang ditugaskan untuk merebut kembali senjata Jepang dari rakyat Aceh arahan sekutu dan Belanda, peristiwa itu terjadi diakhir bulan November 1945. Peristiwa ini memberi dampak politik dan militer Belanda/NICA yang ingin merebut wilayah Aceh dari penguasaan kaum republican dengan memanfaat tentara Jepang. Strategi ini dibaca oleh Mayor Teuku Hamid Azwar sehingga mampu membungkamnya pada kesempatan pertama.

Baca Juga:  Letnan Kolonel TNI (Purn) Teuku Abdul Hamid Azwar; Calon Pahlawan Nasional

Peristiwa lain tejadi dibulan Desember 1945, Teuku Hamid Azwar berhasil memimpin pasukan tempur bersama laskar rakyat mengusir dua batalion Jepang dari kota Langsa dan Kuala Simpang, sehingga kedua batalion Jepang kembali ke Medan pada tanggal 20 Januari 1946. Peristiwa menyebabkan dibatalkannya rencana pasukan Belanda untuk menduduki dan mematahkan perjuangan kaum republik di Aceh. Dalam perkembangannya API inilah kemudian berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), setelah itu menjadi Tentara Republik Indonesia, dan akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Bermukim di Bukit Tinggi
Pada tanggal 5 September 1946, Teuku Hamid Azwar meninggalkan Aceh menuju Bukit Tinggi, Sumatra Barat bersama dengan Syamaun Gaharu untuk menghindari konflik internal di Aceh.  Keputusan ini diambil setelah berkonsultasi dengan Mayor Hasballah Haji . Kebesaran jiwa Teuku Hamid Azwar terlihat ketika terjadi Revolusi Sosial di Aceh. Ia yang saat itu memegang jabatan Kepala Staf Divisi V TRI (Tentara Republik Indonesia) bersama dengan Komanda Divisi V TRI, Kolonel Syamaun Gaharu dan Residen Aceh, Teuku Nyak Arief, menyerahkan tanda pangkat dan jabatan mereka kepada Teungku Amir Husein Al-Mujahid dengan suka rela. Sekalipun kekuatan pasukan militer yang dipegannya mampu melumpuhkan gerakan Tentara Perjuangan Rakyat (TPR) yang dibentuk oleh teungku Amir Husein Al-Mujahid, ketiga tokoh ini memilih untuk meletakkan jabatan dan menyerahkan tanda pangkat guna menghindari terjadinya pertumpahan darah sesama saudara sendiri. Usaha meninggalkan Aceh untuk menghindari ditawan oleh kelompok Pesindo.[9] Nasib yang dialami oleh mantan Komandan dan Staf Divisi V TRI ini. Membangkitkan raya keprihatinan  para pejuang saat itu. Bahkan tidak jauh dari Bakongan Chevrolet yang diberikan oleh Kapten Teuku Hamzah Bendahara, tidak bisa menyeberang karena rakitnya rusak, terpaksa jalan kaki ke Bakongan. Dari Bakongan ke Singkil, Sibolga selanjutnya ke Pematang Siantar, disana Teuku Hamid Azwar dan Syamaun Gaharu bertemu dengan Tgk Daud Beureueh atas fasilitasi Hasballah Daud. Daud Beureueh berpesan agar tetap setiap pada republik.

Pendirian CTC
Pada tahun 1947, Mayor Teuku Hamid Azwar mendirikan Central Trading Company, di Bukittinggi guna mengusahakan perlengkapan untuk memenuhi kebutuhan TNI dan pemerintah RI yang dipelopori Hamid Azwar, Letnan Kolonel Teuku M. Daud Samalanga dan Letnan Kolonel H.A. Thahir. Modal usaha ini berasal dari modal pribadi keluarga.

Pada tahun 1948, Wakil Presiden Republik Indonesia Bung Hatta, meminta CTC dipisahkan dari struktur organisasi ketentaraan. Pada 1 Agustus 1948, CTC menjadi NV dengan modalnya berasal dari BNI tugas pokok mengusahakan perlengkapan untuk pemerintah RI dan tentara. Setelah penyerahan kedaulatan, Teuku Hamid Azwar beralih dari militer ke dunia usaha. Ia berhasil mengibarkan bendera Indonesia dalam reputasi bisnis di dunia internasional dalam rangka membangun ekonomi nasional. Sumbangsihnya di usia senja yang semua dilakukannya bagi Nusa dan Bangsa tanpa pamrih menjadi riwayat perjuangannya penuh makna.

Perenungan tentang perlunya pmbekalan yang lengkap untuk tentara dan pemerintah mendorong Teuku Hamid Azwar merintis pendirian sebuah perusahaan. Setelah mendapat persetujuan dan penetapan dari Panglima Komando tertinggi Sumatera Mayor Jenderal Soehardjo Hardjowardojo, dan atas anjuran Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta, Beliau bersama dengan rekan-rekan seperjuangan mendirikan perusahaan untuk pembekalan TNI dan pemerintah. Perusahaan itu didirikan di Bukit Tinggi dengan nama Central Trading Company atau CTC.

Pendirian CTC pada tahun 1947 dilakukan oleh Letkol Teuku Hamid Anwar bersama perwira-perwira TNI di Sumatera dari Corps Intendance antara lain Letkol Teuku M. Daud (Samalanga) dan Letkol H. Ahmad Thahir. Awalnya sebuah CTC ditingkatkan menjadi perusahaan berbadan hukum dan 100% milik pemerintah, perusahaan ini bernama Central Trading Coorporation dengan modal berasal dari keluarga Teuku Hamid Azwar dan Teuku M. Daud Samalanga (mantan Direktur Utama P.N. Panca Niaga)

Di setiap daerah di Sumatera, tempat kedudukan Staf Divisi TNI, dibuka cabang-cabang CTC. Di Yogyakarta CTC dibuka sebagai penghubung dengan pemerintah pusat. Cabang pertama di luar negeri dibuka di Penang ( Malaysia), di Penang namanya Atjeh Trading Company untuk membantu perjuangan Republik Indonesia.

Jassa CTC bukan saja dirasakan oleh TNI Angkatan Darat RI dengan menyediakan senjata, amunisi dan obat-obatan. TNI Angkatan Udara RI juga menerima sumbangan sebuah pesawat udara RI-003 “AVRO ANSON ” yang digunakan untuk menembus blokade udara Belanda. Pesawat yang diterbangkan oleh Komodor Muda (Udara) Abdul Halim Perdanakusumah dan Opsir (Udara) I Iswahyudi, pada masa perang kemerdekaan, jatuh di Pulau Hantu, Malaysia dan menewasakan kedua penerbang tersebut dan kemudian dibeli penggantinya pesawat udara RI 004 Avron Anson sebagaimana banyak ditulis oleh Koran SINPO dan media lainnya yang sekarang masih rapi tersimpan di ARSIP NASIONAL, salah satu yang ditulis di SINPO adalah sumbangan Teuku Hamid Azwar membeli pesawat pada tahun 1947 di Bukit Tinggi.

Saya diuntungkan pernah ketemu langsung dengan isteri Teuku Hamid Azwar, Cut Nyak Manyak Keumala Putri semasa hidupnya, beliau sering mengkisahkan bagaimana usaha Teuku Hamid Azwar berjuang tanpa pamrih untuk Republik ini, terwasuk waktu beliau bermukim di Bukit Tinggi pada tahun 1947-1949. Menurut Cut Nyak Manyak Keumala Putri, Panglima Komando Tertinggi Sumatra Mayor Jenderal Soehardjo Hardjowadojo meminta dukungan dana dari rakyat di Bukittinggi untuk membeli pesawat terbang. Ketika itu Halim Perdana Kusuma dan Iswahyudi  mendapat tugas membangun angkatan udara RI di Sumatera guna menghadapi kemungkinan hancurnya Angkatan Udara Republik Indonesia di Jawa akibat agresi Belanda.

Baca Juga:  Bujang Salim: Jejak Pejuang Aceh Di Papua

Panglima Komando Tertinggi Sumatra Mayor Jenderal Soehardjo Hardjowadojo meminta Letkol Teuku Hamid Azwar untuk mengusahakan dana untuk pembelian pesawat. Pesawat jenis Avro Anson dibeli di Thailand dananya diambil dari simpanan isterinya Cut Nyak Manyak Keumala Putri dan Letkol T. M Daud Samalanga (kemenakannya) yang sama sama tinggal di Bukittinggi. Pesawat Avro Anson RI 003 yang dibeli ini akhirnya naas dan jatuh di Pulau Hantu Perak Malaysia. Sebelum berangkat membeli pesawat ini Komodor Udara Halim Perdana kusuma dan Opsir Iswahyudi, sempat singgah ke rumah Letkol Hamid Azwar jl Gereja, Bukittinggi, untuk makan siang bersama. Berita jatuh pesawat didengar kemudian didengar oleh Teuku Hamid Azwar dan isterinya melalui radio RRI.

Pada satu saat pemerintah meresmikan meresmikan monumen pesawat Avro Anson RI 003 di tengah tengah kota Bukit Tinggi, katanya sebagai sumbangan dari ibu-ibu Minang di Bukittinggi, Cut Nyak Manyak dan keluarga protes  ke sekretaris Negara dan dijelaskan pesawat itu dibeli di Thailand deg emas milik miliknya dan keluarga sebagai sumbangan dari CTC yang pada itu berada di Bukittinggi . Setelah diselusuri oleh Sekretaris negara bersama AURI, diminta win-win solution karena sudah diresmikan  oleh Presiden dan jangan mempermalukan  masyarakat Minang, diminta kesediaan keluarga untuk mengakui pemberian dari CTC adalah RI 004 pesawat yg dipersiapkan untuk bung karno berkunjung ke Sumatra dan RI 003 yg jatuh di pulau Hantu dikemudikan okeh Halim dan Iswayudi adalah sumbangan dari ibu-ibu Minang. Cut Nyak Manyak Keumala  Putri akhirnya dimakamkan di Taman pahlawan Kalibata sedangkan suaminya yang meninggal tahun 1996 dimakamkan di Tanah Kusir.

Cut Nyak Manyak Keumala Putri dimakamkan di taman makam Pahlawan Kalibata dengan upacara militer. Jasanya diakui pemerintah bersama suaminya Teuku Hamid Azwar di Bukittinggi memberikan Pesawat Avro Anson RI  004 kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk menembus blokade udara Belanda pada masa Kemerdekaan

Sumbangan CTC juga diberikan kepada Angkatan Laut RI berupa satu buah kapal yang berbobot mati sekitar 100 ton (speed boat) yang terkenal pada masa perjuangan kemerdekaan dengan nomor registrasi PBB 58 LB. Kapal ini digunakan untuk menerobos blokade laut Belanda dibawah Komando Mayor (Laut) John Lie.

Agresi kedua Belanda mengakibatkan hancurnya seluruh organisasi CTC, kecuali cabang CTC di Aceh dan Penang (Malaysia). Dua cabang inilah yang menjadi tulang punggung usaha CTC memasok senjata guna menembus blokade Belanda agar perjuangan dapat terus dilanjutkan.

Reorganisasi CTC dilakukan oleh Teuku Hamid Azwar dengan bekal pengalaman dan membaca buku tentang manajemen perusahaan. Staf dan manajemen profesional ditetapkan di perusahaan, baik yang ada di dalam maupun di luar negeri untuk membangun kembali CTC. Memang setelah mengalami keruntuhan pada masa Agresi Militer II perlu banyak dilakukan pembenahan perusahaan.

Antara tahun 1953 sampai 1961, CTC menjadi perusahaan dagang milik negara terbesar yang telah memproleh nama dan kepercayaan di kalangan masyarakat luas. Aktivitas CTC di dalam dan di luar negeri pada saat itumaju pesat.

Jiwa usaha Teuku Hamid Azwar sebenarnya sudah tampak pada usia 20 tahun ketika berdagang hasil bumi dan mengelola pabrik penggilingan padi milik pribadi di Samalanga. Pabrik penggilingan padi yang dikelolanya berkembang pesat dan menghasilkan keuntungan yang memuaskan. Kharismatik, disiplin, kokoh pendirian, berani mengambil risiko dan mampu melihat tanda-tanda zaman, sifat-sifat inilah yang menjadi ciri kepribadian Teuku Hamid Azwar. Kemampuannya melihat tanda-tanda zaman inilah yang membawanya ke dunia usaha, segera setelah perjuangan fisik dianggapnya selesai.

Khatimah
Teuku Hamid Azwar meninggal dunia dalam usia 80 tahun di Singapura pada tanggal 7 Oktober 1996 akibat serangan jantung. Beliau adalah seorang tokoh pejuang kemerdekaan RI yang gigih berjuang tanpa pamrih. Ia meninggal dunia tanpa mendapatkan bintang jasa dari pemerintah. Dari sejumlah bukti yang Teuku Hamid Azwar layak diusul menjadi pahlawan nasional.

Bukti-bukti kontribusinya dalam berbangsa dan bertanah air masih dapat dilacak. Sebagai seorang prajurit yang terlibat dalam pembangunan bangsa Indonesia. Itu semua menjadi alasan bahwa Teuku Hamid Awar layak untuk diusulkan menjadi pahlawan nasional.

Teuku Hamid Azwar bukan saja sosok Tentara dengan pangkat terakhir Letkol Perwira TNI Kamando Sumatera dalam mempertahankan keutuhan NKRI. Ia memiliki peranan dalam mempertahankan Indonesia dari penjajahan dan berkontribusi dalam pembangunan berbangsa dan bertanah air.[]

[2] A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan, jilid, 1 hlm. 444.

[3] M Adli Abdulllah, Sejarah Tun Seri Lanang Dalam Kerajaan Aceh dan Peranannya Menguatkuasa Adat Aceh, Universiti Sains Malaysia, Penang, 2017 hlm 127.

[4] Tgk A.K. Jakobi, Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949 dan Peranan Teuku Hamid Azwar sebagai pejuang, Gramedia, Jakarta, 1998, hlm 46.

[5] A.J. Piekaar, Atjeh En De Oorlog Met Japan, W. Van Hoeve,’s Gravenhage, Bandung, 1949

[6] Tgk A.K. Jakobi, Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949 dan  Peranan Teuku Hamid Azwar sebagai pejuang, Gramedia, Jakarta, 1998, hlm 124.

[7] Talsa, Batu Karang Di Tengah Lautan (Perjuangan Kemerdekaan di Aceh) 1945-1946, Lembaga Sejarah Aceh, 1990, hlm. 12.

[8] Ramadhan KH dan Hamid Jabbar, Autobiografi Syamaun Gaharu, Cuplikan Perjuangan di Daerah Modal, pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995,  hlm. 58

[9] Tgk A.K. Jakobi, Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949 dan Peranan Teuku Hamid Azwar sebagai pejuang, Gramedia, Jakarta, 1998, hlm 348.

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Tunggu Sedang Loading...