Take a fresh look at your lifestyle.

Syariah dan Tantangan Revolusi Industri

Kalau kita hitung sejak tahun 1999 maka pada tahun 2019 ini usia pemberlakuan syariat Islam di Aceh sudah berlangsung selama dua dekade. Ini artinya penerapan syariat Islam di Aceh telah melalui sebuah proses yang sangat matang. Mengingat sejak ia diberlakukan berdasarkan undang-undang nomor 44 tahun 1999, proses ini telah mengalami beberapa kali perbaikan dan evaluasi.

Proses terakhir adalah keluarnya Qanun Jinayah pada tahun 2015 yang lalu. Setelah beberapa kali pergantian kepemimpinan, baik di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, sejatinya hukum Islam di Aceh sudah sangat matang dan permanen dan dapat diberlakukan secara lancar. Namun apakah harapan ini sudah benar-benar terwujud dalam kehidupan masyarakat di Aceh? Pertanyaan ini belum dapat kita Jawab dengan satu kata; ya atau tidak. Ada banyak pertimbangan dan kritikan yang mungkin harus didengar untuk sampai kepada ada jawaban yang tepat.

Formalisasi Syariat Islam di Aceh
Sekilas kita melihat kembali perjalanan syariat Islam di Aceh. Kebijakan penerapan Syariat Islam dimulai dari upaya penyelesaian konflik yang terjadi antara Gerakan Aceh Merdeka dengan pemerintah Republik Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia merasa Gerakan Aceh Merdeka yang berupaya memisahkan diri dari negara kesatuan ini membawa aspirasi klasik umat Islam di Aceh yakni penerapan syariat Islam.

Walaupun kalau kita melihat visi dan misi dari Gerakan Aceh Merdeka sendiri termasuk pada isu-isu yang dikembangkan melalui media mereka sama sekali tidak menempatkan penerapan syariat Islam sebagai isu strategis yang hendak diperjuangkan. Kita bisa berasumsi bahwa Gerakan Aceh Merdeka menghindari isu ini untuk mendapat dukungan dari dunia internasional yang tentu saja tidak sepakat dan tidak akan membantu jika gerakan ini menginginkan formalisasi syariat Islam di Aceh.

Namun kenyataannya di dalam internal Gerakan Aceh Merdeka sendiri atau publikasi-publikasi lokal yang menampilkan ide-ide tokoh Gerakan Aceh Merdeka mereka tetap tidak menampilkan isu syariat Islam sebagai bagian dari perjuangan, Hal yang tidak bisa dipisahkan adalah gerakan ini masih memiliki akar pada gerakan Darul Islam yang dipimpin oleh Teuku Daud Beureueh Pada tahun 1963.

Gerakan itu jelas menginginkan penerapan syariat Islam sebagai hukum formal yang seharusnya diberlakukan di Aceh. Dengan asumsi inilah kemudian pemerintah Indonesia mengeluarkan undang-undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh. Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan Aceh memiliki tiga keistimewaan utama yakni keistimewaan dalam bidang pendidikan, adat, dan agama.

Undang-undang nomor 44 tahun 1999 itu secara ringkas hanya menurunkan beberapa aspek dari hukum fikih Islam ke dalam hukum positif. Saat itu lahir beberapa Perda yang mengatur tentang pakaian kepada laki-laki dan perempuan, walaupun objek yang sesungguhnya lebih banyak diarahkan kepada perempuan, larangan berjudi dan minum minuman keras. Tiga hal ini diatur melalui Perda Aceh. Namun hal ini tidak berlaku efektif mengingat ada banyak masalah yang muncul dalam pelaksanaanya.

Pada tahun 2000 ketika keluar undang-undang otonomi daerah pemerintah Aceh kembali menggodok ulang dan aturan syariah Islam dirumuskan dalam beberapa perda (yang kemudian dinamakan dengan qanun) yang baru yang lebih luas cakupannya dan lebih jelas metode implementasinya. Inilah awal mula dari pemberlakuan syariat Islam di Aceh yang melibatkan Wilayatul Hisbah sebagai “polisi syariat” dan lembaga yudikatif yang lebih luas.

Kehadiran undang-undang nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh sebagai bagian dari kesepakatan MoU Helsinki memberikan ruang baru kepada pemerintah Aceh untuk kembali merevisi aturan-aturan terkait dengan syariat Islam. Hal ini dilakukan karena cakupan aturan syariat Islam yang ada pada beberapa tahun sebelumnya dianggap belum mencerminkan sebuah hukum Islam yang komprehensif dan dapat mencakup banyak hal.

Baca Juga:  Pekerja Sosial, Sebuah Profesi dan Birokrasi

Pada tahun 2015 bulan desember lahirlah sebuah qanun Syariat Islam yang baru yang menggabungkan beberapa qanun sebelumnya dalam satu qanun yang disebut dengan Qanun Jinayah dan Qanun Acara Jinayah. Meskipun kedua qanun ini sesungguhnya telah diusulkan sejak tahun 2009 namun pembahasannya terus molor dan tidak dapat direalisasikan dengan segera karena debat politik yang sangat tajam dan panjang di antara legislatif dan eksekutif di Aceh. Banyak orang tidak sepakat dengan qanun ini termasuk beberapa kalangan di pemerintahan sendiri. Ketidaksepakatan ini secara sederhana disebabkan karena hukuman cambuk yang diberikan kepada orang yang bersalah dianggap melanggar Hak Asasi Manusia dan dapat menghalangi program-program kerja sama dengan lembaga luar. Perdebatan ini masih terus berlangsung hingga akhirnya dilakukan beberapa perubahan di dalam qanun untuk penyesuaian.

Terlepas dari berbagai debat yang terjadi terkait dengan penerapan syariat Islam di atas ada satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah kenyataan dimana syariat Islam di Aceh masih berkutat dan terbatas pada hal-hal yang sangat privat yang ada di dalam masyarakat. Aturan mengenai pakaian, cara bergaul, relasi antar personal, yang digariskan dengan sangat ketat menjadikan ruang pada hal-hal yang lebih besar sama sekali tidak di diskusikan.

Meskipun ada beberapa aturan lain yang terpisah dari Qanun Jinayah yang mengatur hukum Islam dalam skala yang lebih besar, seperti perbankan dan beberapa lembaga lembaga keagamaan, namun sesungguhnya ini bukan terkait dengan aturan Syariah kepada warga masyarakat di Aceh. Aturan-aturan seperti dalam qanun di Jinayah akan sangat sulit untuk menjadi indikator yang dapat dijadikan alat ukur kesuksesan dalam penerapan syariat Islam.

Apakah misalnya jika jumlah orang yang dihukum lebih banyak dapat menjadi indikasi bagi kesuksesan penerapan syariat Islam? ataukah jumlah yang sedikit melanggar aturan-aturan dalam qanun menunjukkan kesuksesan? Hal ini ini tidak dapat sepenuhnya menjadi ukuran mengingat aksi dan implementasi syariah yang dilakukan oleh Wilayatul Hisbah sebagai polisi syariat juga sangat terkait dengan kebijakan-kebijakan politik yang dilakukan oleh pemimpin dalam hal ini bupati atau walikota dan juga terkait dengan aturan-aturan yang ada di tingkat provinsi.

Tantangan Revolusi Industri
Di satu sisi yang lain dunia terus berubah dengan beragam inovasi. Saat ini kita mengenal istilah Revolusi Industri 4.0 yang menempatkan segala sesuatu berbasis internet. Hal ini bukan hanya terjadi di Amerika, Eropa, Cina, atau negara-negara kaya lainnya. Internet of things telah merambah semua bagian di dunia termasuk di Aceh. Anak-anak memakai gadget duduk di pinggir jalan sambil bermain game atau duduk berjam-jam di warung kopi atau menelpon berjam-jam sampai larut malam atau menonton TV streaming atau bermain game online dapat kita temukan di berbagai pelosok dunia. Apalagi jaringan internet kini semakin lama semakin lancar dan semakin murah sehingga dapat diakses oleh hampir semua lapisan masyarakat.

Perubahan yang terjadi karena revolusi Internet bukan hanya mengubah pada peralatan yang kita gunakan. Lebih jauh ia mengubah segala tatanan kehidupan dan kebiasaan kita terutama dalam bagaimana kita berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Pola-pola interaksi tradisional yang kita lakukan karena keterbatasan sarana dan prasarana kini telah dijawab dengan perubahan teknologi tersebut.

Internet memungkinkan pembicaraan tanpa perjumpaan pertemuan dalam sebuah majelis tanpa kehadiran bersama di suatu tempat, atau mengerjakan suatu tugas bersama namun setiap orang berada di tempat yang berbeda. Lebih jauh lagi internet of things menjadikan banyak pelayanan kepada manusia yang sebelumnya dilakukan oleh manusia sendiri sekarang digantikan oleh teknologi berbasis internet. Hal ini menyebabkan perjumpaan antarmuka orang-orang menjadi sangat minimal diganti dengan perjumpaan antara muka dengan layar gadget.

Mau tidak mau umat Islam saat ini sudah masuk ke dalam revolusi ini. Penggunaan teknologi internet dikalangan umat Islam bukanlah hal yang asing. Sebagai sebuah produk yang bebas nilai dan tidak terkait dengan agama tertentu maka seluruh produk teknologi dapat dimanfaatkan oleh umat Islam untuk kepentingan apapun. Disinilah teknologi menjadi sebuah pisau bermata dua. Saat ia dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan-pesan moral dalam Islam dan untuk kemanusiaan maka ia menjadi bagian dari peradaban umat manusia yang tinggi.

Baca Juga:  Sumber Daya Alam untuk Kebangkitan Aceh

Di sisi lain ketika ia digunakan untuk melakukan provokasi dan menyebarkan propaganda kepada manusia untuk menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran maka saat itu teknologi telah berubah menjadi sebuah virus yang mematikan dan ditakuti. Celakanya kita tidak dapat benar-benar menghindari perkembangan teknologi ini. Melarang dan membatasi membuka situs tertentu terkadang tidak terlalu efektif dalam membendung penyebaran pemahaman Islam yang intoleran. Sebab dalam jagat teknologi pemahaman apapun dapat disampaikan dengan bebas dan nyaris tidak ada sensor yang dilakukan si pemilik aplikasi di internet.

Hal yang paling buruk yang terjadi dengan adanya perkembangan teknologi ini adalah munculnya masyarakat yang hiperrealitas di mana mereka hidup atas bayang-bayang apa yang diiklankan atau ditayangkan lewat media sosial. Masyarakat Seperti ini tidak lagi memandang kebenaran sebagai sesuatu yang sakral melainkan kebenaran diukur berdasarkan seberapa banyak orang mengikuti dan percaya akan sesuatu itu.

Oleh sebab itu otoritas otoritas keagamaan mulai bergeser dari ulama tradisional yang mengedepankan Karisma dan adab dan tentu saja pengetahuan keagamaan kepada ulama-ulama selebritis yang hadir di televisi dengan pakaian yang dirancang untuk mendapatkan kepercayaan pendengar atau pemirsa. Ulama semacam ini tidak lagi mengutamakan bacaan yang komprehensif tentang suatu hal yang terkait dengan agama melainkan menyajikan hukum-hukum agama secara sangat sederhana dan langsung kepada kesimpulan.

Kondisi di atas telah memunculkan masalah keagamaan yang pelik. Umat Islam tidak lagi mendiskusikan hal-hal besar terkait teknologi mereka justru terjebak pada perdebatan tidak substantial dan sudah berlangsung berabad-abad. Misalnya perdebatan tentang apakah boleh atau tidak boleh umat Islam merayakan Maulid Nabi? Berapa rakaat kah Nabi Muhammad SAW melaksanakan shalat tarawih? Atau pertanyaan yang lebih besar lagi apakah negara kesatuan Republik Indonesia ini telah sesuai dengan aturan politik negara dalam syariah Islam? Perdebatan perdebatan seperti ini terus berlangsung dari tahun ke tahun tidak ada habisnya. Ini telah mengurus energi umat sangat lama dan behka telah beberapa menjadi sebab munculnya kekerasan antar orang yang berbeda pandangan.

Revolusi Pemahaman Syariah
Hal ini akan terus berlangsung dan akan terus berkembang di masa yang akan datang. Kalau Syariah Islam hanya bicara pada aturan-aturan yang bersifat individu dan personal maka ia akan kehilangan momen untuk melakukan hal-hal besar dan revolusioner dalam mengembangkan peradaban.

Syariah seharusnya bukan hanya fokus pada masalah masalah parsial dan privat yang sebenarnya cukup dianjurkan melalui mimbar ceramah dan pendidikan keluarga saja. Sejatinya Syariah berpikir tentang pengembangan sebuah peradaban yang besar berbasis teknologi seperti yang ada saat ini.

Dalam pergulatan seperti ini dibutuhkan muslim yang cerdas yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang mutakhir. Pendidikan yang terbuka dan tidak terbatas pada mengkaji kitab-kitab klasik ulama terdahulu menjadi suatu hal yang harus segera dilakukan. Umat Islam harus mengeruk pengetahuan dari berbagai bangsa di berbagai belahan dunia. Mereka juga harus menempatkan diri pada ruang-ruang pengembangan teknologi mutakhir sehingga mampu menunjukkan bahwa peradaban Islam sesuai untuk konteks zaman manapun.

Baca Juga:  KECAMATAN "A LA" ACEH

Hal-hal besar ini harus dipikirkan dalam konteks Aceh sekalipun. Setelah menabalkan diri sebagai wilayah yang menerapkan syariat Islam Aceh harus menjadi contoh dan teladan bagi daerah lain dalam mempraktekkan Islam yang menyeluruh atau dalam bahasa agama disebut “Islam yang rahmatan lil alamin”.

Perdebatan khilafiah yang terus-menerus terjadi sepanjang tahun harusnya sudah dapat diakhiri agar umat Islam terus fokus pada hal-hal yang terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan pengembangan peradaban.

Sayangnya ada sekelompok umat Islam yang memandang perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan dewasa ini adalah musuh yang buruk yang dapat menghancurkan agama. Mereka Lantas menggunakan berbagai cara untuk menghancurkan ilmu pengetahuan dan mengancam umat Islam untuk tidak mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan tersebut.

Label-label buruk kepada ilmu tertentu disebarkan sehingga banyak umat Islam merasa tidak mau belajar dan atau tidak mau berusaha memahami perkembangan pengetahuan. Lebih buruknya lagi ada di antara sekelompok orang yang menyebut dirinya muslim namun menghancurkan lembaga-lembaga pendidikan, mengancam orang-orang yang menuntut ilmu pengetahuan, merusak buku hukum dan melarang majelis-majelis ilmu hanya karena mereka mendiskusikan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dipahaminya. Apalagi seringkali perbedaan itu menyebabkan benturan fisik yang melibatkan umat Islam sendiri.

Padahal kalau kita melihat ke belakang, sejarah umat Islam sesungguhnya adalah sejarah perkembangan peradaban melalui ilmu pengetahuan. Ulama-ulama besar yang pernah hidup dan menharumkan nama Islam adalah ilmuwan sekaligus ulama. Mereka bukan hanya menguasai satu bidang ilmu saja, namun berbagai ragam ilmu pengetahuan, Para ulama ini telah melahirkan berbagai buku dan referensi ilmu pengetahuan yang dipakai sampai saat ini. Ibnu Sina, Ibnu Rusdi, ar-Razi, Baiquni, dan sederetan nama yang lain telah menghasilkan kitab-kitab yang luar biasa yang menjadi rujukan ilmu pengetahuan sampai sekarang ini. Semangat seperti ini tidak boleh hilang atau setidaknya tidak boleh ditinggalkan oleh umat Islam sendiri. Umat Islam Harusnya menjadi leader memimpin umat manusia yang lain untuk mengembangkan bangsa dan negara dan tentu saja untuk mengembangkan Islam secara keseluruhan.

Disinilah kita harus melakukan pemahaman ulang tentang makna Syariah secara lebih komprehensif. Kalau kita melihat dari produk-produk hukum Islam yang sudah diberlakukan selama 20 tahun terakhir di Aceh jelas menunjukkan bahwa interpretasi tentang Syariah Islam masih sangat terbatas pada hukum-hukum yang bersifat privat.

Islam belum menjadi sebuah mainstream dalam semua bidang kehidupan. Padahal sejatinya ketika kita bicara Syariah Islam kita bicara keseluruhan kehidupan manusia. Dalam hal ini kita tidak bisa menghindari dari pembicaraan tentang teknologi seperti yang berkembang di dunia saat ini. Hal ini tidak mungkin dilakukan dengan tiba-tiba atau dengan kapasitas yang rendah pula. Persaingan di dunia ilmu pengetahuan harus dilakukan dan terencana dengan baik untuk masa depan peradaban Islam.

Kita Tentu saja tidak mungkin terus menjadi konsumen dan followers dari perkembangan peradaban dunia yang ada saat ini. Sejauh ini nyaris tidak ada orang Islam atau negara muslim negara yang penduduknya mayoritas orang Islam menjadi pemimpin bagi pengembangan sebuah peradaban. Sebagai umat yang “rahmatan lil alamin” maka perkembangan peradaban ke depan harus dipimpin oleh umat Islam.

Kapan hal ini bisa terwujud? Mungkinkah dengan tatanan sosial masyarakat dan pendidikan anak yang kita kembangkan saat ini memungkinkan umat Islam berada di sana? Ataukah umat Islam akan terus menjadi pengikut pada revolusi berikutnya bahkan sampai dunia ini berakhir? Semoga saja tidak. [Sumber: Buku “Aceh 2020”]

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Tunggu Sedang Loading...