Take a fresh look at your lifestyle.

Politik Sungsang

Oleh: Juanda Djamal
Secretary General Konsorsium Aceh Baru, dan Ketua Fraksi Partai Aceh, DPRK Aceh Besar 2019-2024.

Sejarah mengajarkan kita bahwa Aceh selalu berpikir dan berperilaku yang berbeda dengan kerajaan maupun provinsi lainnya di Nusantara ini. Ketika kerajaan Eropa datang untuk menguasai rempah-rempah di negeri Nusantara, kerajaan Aceh melakukan perlawanan hebat dengan Portugis, Inggris, Amerika dan terakhir Belanda.

Selanjutnya, setelah proklamir kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, dimana elite Republik ketika itu membangun republik dengan berlandaskan nasionalisme ke-Indonesiaan. Tokoh Aceh, sebaliknya berpikir untuk bergabung dengan Republik Indonesia oleh faktor Republik menjadi negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. “Pan-Islamisme” menjadi landasan dan Sukarno menjadikan semangat tersebut untuk merayu ulama Aceh supaya bergabung dengan Republik Indonesia.

Setelah kemerdekaan, ketika janji tidak ditepati oleh Sukarno, maka pemimpin Aceh Tgk Daoed Beureueh memproklamirkan gerakan perlawanan Darul Islam. Pergerakan ini dapat diselesaikan secara musyawarah dengan memberikan pengakuan keistimewaan yang ditetapkan dalam keputusan Perdana Menteri RI No.1/Missi/1959, memberi status keistimewaan Aceh, bidang agama, adat istiadat, dan pendidikan.

Perjuangan Aceh belum selesai dengan misi Hardi tersebut, 4 Desember 1976, Dr Muhammad Hasan Di Tiro memproklamirkan pergerakan baru Aceh Merdeka, mem-perjuangkan kemerdekaan Aceh dari Republik Indonesia. Tiga puluh tahun perlawanan, Gerakan Aceh Merdeka berakhir dengan perjanjian perdamaian Helsinki dan kemudian disepakati secara hukum perundang-undangan Republik Indonesia dalam UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Bersenjata ke Politik
Perjuangan Aceh masih berlanjut, perjanjian perdamaian Helsinki 15 Agustus 2005 menjadi titik tolak transformasi perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan bersenjata ke perjuangan politik, dimana UU No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) menjadi “konstitusi” dalam membangun masa depan Aceh yang berdaulat, adil, sejahtera, dan mandiri.

UU No.11/2006 dalam Pasal 75-95 Bab XI mengatur tentang Partai Politik Lokal. Semua ketentuan memberikan justifikasi transformasi kombatan ke pelaku politik. Sehingga 7 Juni 2007 didirikanlah Partai Aceh sebagai alat perjuangan baru, tentunya tantangan yang dihadapi sangat besar di kemudian hari.

Cita-cita perjuangan yang dideklarasikan oleh Dr Muhammad Hasan Di Tiro tahun 1976, dapatkah cita-cita tersebut diterjemahkan dalam era perjuangan politik?

Era politik lebih berat dibandingkan dengan era perjuangan bersenjata, era politik jika tidak dapat dikelola secara baik dan tepat maka dinamika internal dapat memecahkan institusi pergerakannya, apalagi isu, momentum, perbedaan pandangan, dan banyak faktor lainnya melahirkan diskursus sehingga keputusan-keputusan politik dapat berujung pada perpecahan.

Baca Juga:  Orang Aceh Sering Gagal Mengelola Harapan

GAM yang bertransformasi ke Komite Peralihan Aceh (KPA) langsung menghadapi ujian pertama, Pilkadasung 2006/2007, yaitu pilkada pertama pascaperjanjian Helsinki dihadapkan pada dualisme gerakan, terdapat dua kandidat yang lahir, Irwandi-Muhammad Nazar (IRNA) dan Hasbi Abdullah-Humam hamid (H2O). Pilkada ini dimenangkan oleh IRNA yang didukung oleh GAM lapangan, mereka pemimpin Aceh 2007-2012.

Dualisme ini berdampak ke pembentukan partai, saat proses pembentukan partai, dualisme pemikiran kembali terjadi, sehingga pendukung Irwandi Yusuf membentuk Partai Nasional Aceh (PNA) pada 4 Desember 2011. Sehingga pilkada 2012, dua pasangan calon dari para kombatan, yaitu Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf dan Irwandi Yusuf-Muhyan Yunan, pilkada 2012 dimenangkan oleh Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf (ZIKIR) dengan perolehan suara 55,78 %, sedangkan Irwandi-Yunan hanya mengantongi 29,18 % suara.

Sejauh ini, 2006-2019, era perjuangan politik sedikit banyak telah mengubah arah perjuangan, agenda dan cita-cita perjuangan sebagaimana era bersenjata terdegradasi karena dinamika politik perebutan kekuasaan politik telah menciptakan berbagai gesekan dan melahirkan banyak kekecewaan, baik dalam tubuh institusi perjuangan maupun masyarakat, karena harapan yang digantung pada tokoh-tokoh pejuang dapat direalisasikan secara nyata.

Makanya, setelah tiga momentum politik (2009, 2014 dan 2019) perolehan suara Partai Aceh terus menurun di DPRA. Tentunya, dinamika politik tersebut menjadi lampu kuning early warning bagi Partai Aceh, segera memperbaiki strategi perjuangannya di tahun 2019 dan seterusnya.

Kemudian, sikap dan perilaku politik Aceh secara nasional mengalami disorientasi, bahkan pemilu 2014 sikap politik Partai Aceh tidak kompak, Muzakkir Manaf mendukung Prabowo-Hatta dan Zaini Abdullah cs mendukung Jokowi-JK. Pilpres 2014 dimenangkan oleh Prabowo-Hatta sebesar 1.089.290, sedangkan Jokowi-JK meraih 913.309 suara.

Selanjutnya, Pilpres 2019, Partai Aceh memutuskan dukungannya pada Prabowo-Sandi, sedangkan sebagian besar partai nasional mendukung Jokowi-Maaruf. Hasil Pilpres, Prabowo-Sandi menang mutlak yaitu 85,59 %, sedangkan Jokowi-Maaruf hanya 14,41 %. Namun, hasil akhir pemilu presiden secara nasional, Jokowi-Maaruf unggul 56 % dan diputuskan Jokowi-Maaruf menjadi presiden-wakil presiden periode 2019-2024.

Hasil demikian menjadi kontra produktif dengan hasil Pilpres di Aceh, tentunya hasil tersebut mempengaruhi keberlanjutan perdamaian dan pembangunan Aceh, dina- maka politik kekinian Indonesia menjadi early warning bagi keberlanjutan perdamaian dan pembangunan strategis Aceh pada era Presiden Jokowi-Maaruf.

Akankah pembangunan Aceh masuk dalam program strategis pembangunan nasional pada periode 2019-2024 ?

Jawaban atas pertanyaan besar di atas tidak sederhana. Perlu ada pemikiran-pemikiran progresif dan mendasar yang melahirkan kerangka kebijakan pembangunan strategis Aceh itu sendiri. Selanjutnya membangun rancangan politik pembangunan yang diturunkan dalam rencana-rencana strategis. Kemudian melakukan kerja-kerja diplomasi baru agar memastikan angka 14,41 % menjadi nilai tawar politik Aceh-Jakarta. Banyak pihak akan berpikir hal ini tidak mungkin, membalikkan 14,41 % suara Jokowi-Maaruf saat Pilpres 2019 menjadi modal dalam melobi pemerintah pusat, dapat juga dipastikan kalau Jakarta akan melihat sebelah mata.

Baca Juga:  “Alarm” Pengelolaan Sumberdaya Alam Aceh sudah berbunyi?

Namun demikian, pemikiran terbalik (songsang) harus kita bangun dan nilai tawar politik baru juga mesti diciptakan supaya 14,41 % menjadi angka pengingat pemerintah pusat terhadap Aceh.

Perlawanan adalah Perjuangan
Mengkaji kembali sejarah perjuangan rakyat Aceh, maka periodesasi perjuangan, 1873-2005, menjelaskan bahwa pemikiran, sikap dan perilaku politik rakyat Aceh selalu berlawanan atas situasi dan dinamika politik mainstream, perlawanan itu merupakan bentuk perjuangan untuk mempertahankan kedaulatan, harkat, martabat, harga diri dan dentitasnya “Ke-Islaman dan Ke-Acehan”.

Hanya saja, perjuangan rakyat Aceh masih belum mencapai sebagaimana yang diharapkan, tapi setidaknya apa yang dituliskan oleh Latiff Mohidin dalam sajaknya yang berjudul “Songsang”, pada tiga bait terakhir.

“Orang lain telah merdeka aku belum, Maafkan aku kalau aku sering saja berlaku songsang, Aku hanya ingin mengingatkan”.

Sajak itu memberikan ingatan pada kita semua bahwa perlawanan rakyat Aceh dari periode ke periode merupakan dialektika perjuangan atas pembangunan Islam, Aceh, dan Indonesia.

Pandangan lainnya, Aceh merupakan “anak nakal” yang ingin mengingatkan “orang tuanya” bahwa penting menerapkan keadilan dan kesejahteraan, bukan hanya bagi dirinya, tetapi bagi seluruh anggota keluarga yang namanya Negara Republik Indonesia. Atas sejarah Indonesia, Aceh hampir selalu menjadi “anak nakal”, tentunya banyak model baru yang dapat dikembangkan guna menyempurnakan Negara Republik Indonesia ini.

Jadi, sejak maklumat perang Belanda terhadap Aceh 26 Maret 1873, perlawanan DI/TII 1952, deklarasi Aceh Merdeka 1976, Perdamaian GAM dengan RI tahun 15 Agustus 2005, pembentukan partai politik “Partai Aceh” tahun 2007 dan bahkan terakhir dukungan politik Partai Aceh pada Prabowo-Sandi pada Pilpres 2019 menjelaskan bahwa semua dinamika politik tersebut selalu berlawanan dengan kekuatan mainstream.

Baca Juga:  Kembali Pada Jalan Politik Bioetik, Alam Terawat Rakyat Terbela

Kebijakan Politik Aceh 2019-2024
Atas pertimbangan politik pembangunan Aceh yang semakin disorientasi dari semangat perdamaian dan pembangunan yang berkelanjutan, maka ada beberapa kebijakan politik yang mesti diperjuangkan, antara lain:

Pertama, optimalisasi implementasi UU No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, jika pada era ini UU dimaksud masuk dalam prolegnas untuk direvisi maka perlu ada langkah strategis yang mesti dipersiapkan oleh Partai Aceh bersama partai KAB dan luar koalisi, serta universitas dan organisasi masyarakat sipil agar dapat mempengaruhi perubahan kearah yang substansial menguntungkan kepentingan keberlanjutan perdamaian, perwujudan keadilan dan kesejahteraan masyarakat Aceh.

Kedua, sumber daya alam seperti hutan, laut, air, minyak dan gas merupakan kedaulatan bagi Aceh, maka pengelolaannya dan pembagian hasil antara Aceh dengan pemerintah pusat mesti diperjelas secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan serta diperuntukkan hasilnya bagi kesejahteraan masyarakat Aceh.

Ketiga, memiliki otoritas pengelolaan pelabuhan guna mendukung konektivitas laut dalam menghidupkan perdagangan Aceh baik dalam negeri maupun secara global, sehingga hasil produksi Aceh dapat diekspor langsung. Ketiga arah dan kebijakan pembangunan Aceh kedepan memiliki dampak yang mendasar bagi partumbuhan ekonomi Aceh, sehingga jumlah pengangguran dan angka kemiskinan dapat turun.

Kondisi demikian dapat memberikan keleluasaan bagi pemerintah untuk menjalankan tanggung jawabnya atas pelayanan di sektor publik. Begitu pula peranan masyarakat dapat lebih leluasa dan serius mempersiapkan sumber daya manusia Aceh yang tangguh, berwawasan, visioner, dan memiliki jaringan yang luas guna dapat dimanfaatkan bagi kepentingan pembangunan kesejahteraan masyarakat Aceh.

Seluruh komponen rakyat Aceh perlu membangun konsolidasi politik dan melakukan aksi-aksi guna menghadapi kepentingan nasional di Aceh secara bersama, baik partai politik, intelektual, tokoh keagamaan, pemuda dan mahasiswa, perempuan dan komponen lainnya. Kekuatan ini menjadi kekuatan baru dalam berkomunikasi politik dan berdiplomasi dengan pemerintah pusat.

Saat ini kita dapat mengambil banyak pembelajaran atas pergolakan politik Aceh sebelumnya, dinamis dan selalu berperilaku “sungsang” untuk memperjuangkan kehendak politik atas kedaulatan, kesejahteraan, dan kemerdekaan rakyat.

Atas perilaku demikian, kita dapat mengingatkan republik agar menjadi negara yang beradab dan berperikemanusiaan di masa depan. [Sumber: Sebagian dari isi buku Aceh 2020: Diskursus Sosial, Politik dan Pembangunan. Selanjutnya pengutipan tulisan ini harus mencantumkan link https://sagoe.id]

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Tunggu Sedang Loading...