Take a fresh look at your lifestyle.

MoU Helsinki, UUPA, dan Kontestasi Aktor di Aceh

Tulisan ini mengurai tentang MoU Helsinki, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), dan kontestasi aktor di Aceh. Kehidupan sosial dan struktural birokratis di Aceh saat ini sangat dipengaruhi oleh lahirnya MoU Helsinki, UUPA, dan transformasi para aktor.

Meminjam istilah Otto Syamsuddin Ishak (2013: 376), dinamika kehidupan pascakonflik di Aceh sangat dipengaruhi oleh empat  peristiwa besar.

Pertama adalah keberhasilan gerakan reformasi 1998 secara nasional yang mencerminkan keberdayaan sebuah gerakan sosial yang bisa melampaui kedigdayaan sebuah rezim yang sudah bertahan hidup hingga tiga dasawarsa. Fenomena ini merupakan awal kebangkitan gerakan masyarakat sipil di Aceh yang merefleksikan kebangkitan gerakan sosial di daerah.

Kedua, muncul tuntutan pencabutan status Aceh yang publik mengenalnya sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) atau dalam sandi militer sebagai Operasi Jaring Merah (OJM) yang juga digelar di Timor Timur dan Papua.

Ketiga, bencana alam gempa dan tsunami (2004) yang membangkitkan solidaritas kemanusiaan dunia terhadap kondisi kemanusiaan di Aceh yang mencerminkan kesatuan aksi kolektif lintas bangsa dan keyakinan untuk hal-hal yang bersifat kemanusiaan pada level lokal.

Keempat, tercapainya kesepahaman bersama untuk menciptakan perdamaian antara Pemerintah Republik Indonesia (Pemri) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 di Helsinki yang dikondisikan oleh sebuah pengakuan dunia bahwa pembangunan (rehabilitasi dan rekonstruksi) hanya bisa dilakukan pada situasi yang damai.

MoU Helsinki tanpa perekat sosial
Setiap tahunnya, hari penandatanganan MoU Helsinki dirayakan di Aceh. Pada 15 Agustus 2022, usia perjanjian damai antara RI-GAM yang lebih dikenal dengan istilah “MoU Helsinki”, genap berusia 17 tahun.

Perayaan MoU Helsinki dijadikan sebagai sebuah tradisi baru yang momentumnya ditetapkan sebagai Hari Damai Aceh. Hampir setiap tahun, ketika MoU Helsinki diperingati, pikiran dan program-program substantif nyaris tertinggal dibandingkan program-program seremonial.

Di sisi lain, 17 tahun setelah Aceh damai kesejahteraan masyarakat belum juga meningkat secara signifikan. Malah Aceh terus menjadi juara bertahan provinsi termiskin di Sumatra dan nomor lima terpapa di Indonesia.

Patut dipertanyakan kenapa Aceh terpuruk secara statistik dan daya saingnya rendah?  Salah satu penyebabnya barangkali adalah orang-orang dari kalangan GAM yang terlibat dalam perundingan MoU Helsinki sudah tidak bersatu lagi. Juga tidak terlibat secara intens dan bersinergi dalam mengawal dan mengisi perdamaian lantaran timbulnya konflik internal antarlite.

Situasi sosial di Aceh saat ini seperti tak ada tokoh pemersatu. Padahal, lembaga pemersatunya berdiri megah dengan ongkos yang tidak murah. Keberadaan Wali Nanggroe yang seharusnya menjadi perekat sosial masyarakat Aceh masih belum sesuai harapan.

Adalah fakta bahwa masyarakat dan elite Aceh saat ini berada dalam kotak-kotak perbedaan yang berujung pada perilaku kontraproduktif bahkan agitatif.

Awal mula kisruh perihal Wali Nanggroe dimulai dari persyaratan untuk menjadi Wali Nanggroe, yaitu harus mahir berbahasa Aceh. Padahal, di Aceh hidup dan berkembang sepuluh bahasa lokal, selain bahasa Aceh.  Makanya sempat muncul wacana Gayo Merdeka saat itu sebagai protes syarat untuk menjadi Wali Nanggroe. Bahkan, mereka melarang Wali Nanggroe Tengku Malik Al Haythar menginjak Tanah Gayo.

Untunglah ditemukan solusi bijak yang langsung dituangkan ke dalam Qanun Aceh tentang Lembaga Wali Nanggroe bahwa yang dimaksud dengan bahasa Aceh adalah semua bahasa lokal yang hidup dan berkembang di Aceh. Dengan demikian, orang Aceh yang tak mahir bahasa Aceh pun boleh menjadi Wali Nanggroe.

Kemudian, kisruh yang kedua dikarenakan Wali Nanggroe tidak memiliki syarat harus independen. Karena tidak dipersyaratkan demikian, maka pihak lain hanya bisa mengurut dada ketika mendapati fakta bahwa Wali Nanggroe terkesan hanya “milik” satu partai politik lokal saja.

Baca Juga:  Lingkungan dan Kegagalan Kebijakan

Semestinya, seorang Wali Nanggroe harus menjunjung tinggi nilai-nilai independensinya. Harus benar-benar menjadi pemersatu rakyat Aceh dalam aspek adat dan budaya, bukan hanya untuk satu golongan saja.

Ketiga, keberadaan Wali Nanggroe mendapat sorotan karena minim kontribusi. Juga sering tidak hadir dalam mengatasi persoalan-persoalan kemasyarakatan. Misalnya, tidak jelas andilnya dalam upaya pemberantasan narkoba, pencegahan kekerasan seksual pada anak, illegal logging, illegal mining, dan illegal fishing yang eskalasinya dari tahun ke tahun  justru semakin meningkat.

Secara aturan, Wali Nanggroe adalah lembaga adat dan budaya. Namun, dalam faktanya pelan-pelan mengarah kepada entitas politik dan mulai mencampuri urusan birokrasi. Termasuk misalnya, aktif mengusulkan kepada Menteri Dalam Negeri calon Penjabat (Pj) Gubernur Aceh pada Maret 2022, tiga bulan sebelum masa jabatan Gubernur Nova Iriansyah berakhir.

Terlepas dari semua itu, Lembaga Wali Nanggroe seharusnya menjadi babakan baru bagi kemewahan sejarah Aceh. Wali Nanggroe harus independen dan menjadi perekat kohesi sosial masyarakat Aceh yang sempat tercabik-cabik oleh 29 tahun konflik bersenjata.

MoU Helsinki sangat perlu dijaga.  Di balik MoU harus ada resep baru untuk sinergisitas dan kemajuan masyarakat Aceh. Yaitu, elite di Aceh harus menjaga kekompakan.

Terbetik kabar, perundingan Tokyo antara RI-GAM gagal, tapi elitenya tetap bersatu. Sebaliknya, MoU Helsinki berhasil disepakati, tetapi setelah itu elitenya justru terpecah ke dalam beberapa faksi.

Seharusnya, semua elite dari berbagai kalangan di Aceh harus bersatu. Dengan kita bersatu padu maka pembangunan dan kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan.

Saat ini kecintaan masyarakat Aceh terhadap NKRI tidak dapat diragukan lagi. Masyarakat sudah lelah hidup terus dalam impitan kemiskinan dan kelesuan ekonomi. Masyarakat Aceh tak mau berperang lagi. Semua pemimpin harusnya ikhlas menerima kenyataan bahwa dengan MoU damai kemerdekaan ekonomi masyarakat harus dapat diwujudkan.

Salah satu strateginya adalah elite dari berbagai profesi harus solid dan Wali Nanggroe harus berperan nyata sebagai perekat kohesi sosial masyarakat maupun lintas partai, etnik, suku, dan agama.

Sebagaimana kita ketahui bersama, inti dari MoU Helsinki sudah diserap dan diderivasi ke dalam UUPA. Melalui UUPA-lah seharusnya kesejahteraan rakyat Aceh dapat digapai.  Perdamaian adalah modal kesejahteraan. Dengan usia perdamaian 17 pada tahun ini, seharusnya potensi kesejahteraan masyarakat Aceh semakin tinggi. Karena kita sudah hidup dalam suasana damai, maka setiap orang seharusnya dapat bergerak leluasa untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidupnya.

Patut pula kita syukuri bahwa pemberian beasiswa, Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), dan program-program prorakyat lainnya itu adalah buah dari perdamaian RI dan GAM di Helsinki.

Begitu juga dengan beberapa lembaga yang dibentuk karena MoU Helsinki, seharusnya dapat menghasilkan output yang istimewa dan mempercepat masyarakat Aceh untuk merasakan hidup bahagia dan sejahtera.

Tidak boleh ada pengkhianatan terhadap perdamaian karena hidup damai adalah dambaan setiap insan di Aceh. Jalan untuk menggapainya pun terlalu panjang, terjal, dan berliku. Maka, jangan tukar perdamaian dengan konflik lagi.

Para pemimpin di Aceh harus menjadi teladan dalam berbuat. Apalagi kalau ada orang-orang tua yang berkonflik, harus segera didamaikan. Konflik personal elite harus dihindari, apalagi konflik personal yang dapat memperburuk kondisi ekonomi. Ini tidak baik bagi keberlangsungan perdamaian. Sebuah konsep yang baik jika tidak dilaksanakan dalam satu ekosistem yang juga baik, maka sistem itu tidak dapat difungsikan dengan maksimal.

 

UUPA dan Turunannya
UUPA yang kita bahas pada bagian ini terdiri atas 40 bab dan 273 pasal. Namun, turunan UUPA dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Menteri (Permen) hingga peraturan daerah (qanun) masih banyak yang belum direalisasikan hingga kini.

Baca Juga:  Mengapa Orang Aceh Benci Snouck Hurgonje?  

Pemerintah pusat, sebagaimana diatur dalam Pasal 271 UUPA, sudah menetapkan lima PP dan tiga Perpres. Sedangkan sisa yang belum ditetapkan ada tiga PP lagi, yaitu PP tentang Kedudukan Keuangan Gubernur dan Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Gubernur (Pasal 43 UUPA).

Kedua, PP tentang Standar, Norma, dan Prosedur Pembinaan dan Pengawasan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Aceh dan Kabupaten/Kota (Pasal 124 UUPA).

Ketiga, PP tentang Nama dan Gelar Aceh (Pasal 251 UUPA).

Merujuk pada Pasal 249 UUPA, disebutkan bahwa pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bisa jadi, karena pasal inilah beberapa turunan UUPA belum terealisasi.

Adakalanya turunan UUPA menguras finansial dan energi Aceh yang ujungnya sia-sia. Seperti halnya dalam pembahasan dan pengesahan Qanun tentang Lambang dan Bendera Aceh. Hingga kini Aceh “belum diperkenankan” pemerintah pusat menggunakan bendera Bintang Bulan dan lambang Buraq-Singa meski qanun tentang itu (Qanun Nomor 3 Tahun 2013) telah dihasilkan dengan suara bulat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sejak 2013.

Pada intinya, UUPA menekankan pada empat aspek. Pertama, pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil dan korban konflik. Kedua, pemberdayaan sumber daya manusia (SDM). Ketiga, pemberdayaan politik. Keempat, pemberdayaan sosial dan budaya.

Selain UUPA yang memberi Aceh kekhususan dan kewenangan asimetris dibanding provinsi lain di Indonesia, masyarakat Aceh juga lebih duluan punya undang-undang keistimewaan, yakni Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999.

Namun realitasnya, diberi status khusus dan istimewa pun kesejahteraan masyarakat Aceh belum juga tercapai. Provinsi kaya sumber daya alam ini malah tetap termiskin di Sumatra dan nomor lima termiskin se-Indonesia.

Padahal, esensi dari keberadaan UUPA dan turunannya adalah memberi dampak signifikan terhadap perekonomian masyarakat Aceh.

Kehadiran UUPA dan turunannya juga diharapkan menghadirkan ketenteraman bagi kehidupan sosial masyarakat Aceh. Apalagi masyarakat Aceh baru pulih dari konflik dan bencana tsunami.

Namun faktanya, pertumbuhan ekonomi Aceh masih rendah. Kondisi ekonomi masyarakat Aceh dilihat secara makro sangat menyedihkan.Indikatornya, pertumbuhan ekonomi Aceh hanya 2,6 persen, terendah di Sumatra. Angka kemiskinannya mencapai 15,43 persen dan diperpuruk oleh tingkat kemiskinan di pedesaan 17,96 persen. Ini angka pada tahun 2022, saat tingkat kemiskinan di pedesaan Aceh cukup parah.

Begitu pula halnya dengan tingkat pengangguran, Aceh juga nomor 1 di Sumatra dengan angka Rasio Gini 0,319. Rasio Gini atau koefisien adalah alat pengukur derajat ketidakmerataan distribusi penduduk.

Sepertinya, UUPA dan turunannya belum mampu memberi kesejahteraan terhadap 5,3 juta penduduk Aceh. Mayoritas penduduk provinsi ini hidup dari sektor pertanian. Masyarakat  yang tinggal di pesisir umumnya hidup dari sektor perikanan laut dan perikanan darat. Sebagian lagi hidup dari sektor perkebunan.  Sedangkan anggaran perencanaan tidak berfokus kepada tiga bidang ini sehingga masyarakat Aceh terus berkutat dalam lingkar kemiskinan.

Padahal, dana yang masuk ke Aceh sangatlah besar dan beragam. Misalnya saja Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA), sejak 2008 sampai dengan 2021 telah disalurkan lebih kurang Rp90 triliun. Belum lagi Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Pendapat Asli Aceh (PAA), Dana Transfer Bagi Hasil Migas, Dana Tambahan Bagi Hasil Migas.

Setiap tahun dana APBA didominasi oleh Dana Otsus. Sayangnya, jumlah uang yang masuk ke Aceh tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakat Aceh.

Pendeknya, hingga 17 tahun Aceh damai dan beringsut pelan dari pusaran konflik, belum terwujud juga pemerataan ekonomi di 23 kabupaten/kota, 286 kecamatan, dan 6.459 gampong di seluruh Aceh.

Baca Juga:  Mengurai Sinergi Dalam Pengelolaan Pendidikan Aceh

Kontestasi aktor di Aceh
Di Aceh yang memiliki sejarah konflik yang panjang, potensi konflik baru selalu terbuka peluangnya. Oleh karena itu, diperlukan upaya deteksi dini. Langkah-langkah preventif sebagai pencegahan sangat diperlukan dalam memelihara keberlangsungan perdamaian.

Era kebebasan dan keterbukaan Aceh pascakonflik dan tsunami merupakan simbol baru bagi identitas masyarakat Aceh.

Keberadaan elite dalam berkontestasi di Aceh sedang menemui masalah disorientasi. Berbagai bentuk struktur, nilai-nilai keadatan, hingga subkultur masyarakat Aceh kini sedang mengalami redefinisi atau yang disebut sebagai transformasi secara meluas.

Kebebasan pascakonflik juga dipahami sebagai pembudayaan nilai baru yang terkadang berhadap-hadapan dengan nilai-nilai asli (indegenius values). (Ibnu Mujib, Irwan Abdullah, Heru Nugroho, 2014: 49-65).

Lebih lanjut, Ibnu Mujib, Irwan Abdullah, Heru Nugroho, (2014) mengatakan bahwa setidaknya terdapat tiga kegelisahan empiris yang menginspirasi kontestasi elite di Aceh.

Pertama, kerinduan akan Aceh yang damai dan kondusif, tidak lagi ada konflik.

Kedua, harapan kolektif masyarakat Aceh yang tidak lagi ingin dijajah oleh rezim apa pun, tekanan-tekanan politik, termasuk para agensi  global.

Ketiga, kurang adanya perjuangan bersama, sebuah perjuangan yang berpihak pada kecerdasan lokal.

Ketiga bentuk kegelisahan inilah yang kemudian menginspirasi lahirnya elite-elite baru yang memiliki kompetensi, tetapi rendah daya diplomasi. Akibat kemacetan berdiplomasi, maka struktur sosial masyarakat Aceh terkotak-kotak dalam kebimbangan.

Kontestasi aktor di Aceh pasca-MoU Helsinki, terutama dalam merebut otoritas, harus memperkuat pemahaman dan kewaspadaan semua pihak. Terutama menyangkut tiga hal: isu potensi konflik dan pembangunan; pembangunan sebagai konflik; dan sektor ekonomi penyebab konflik.

Otoritas aktor, terutama aktor kombatan, aktor agama, dan aktor politik, terlibat dalam konfigurasi perebutan kekuasan di berbagai level di Aceh. Namun, bukan saatnya lagi melakukan  aksi eksploitatif dengan dalih demi rakyat. Ini adalah tantangan bagi setiap aktor di Aceh untuk tampil humanis supaya muncul kesadaran kolektif terhadap kemiskinan di Aceh yang harus segera bersalin rupa  dengan kesejahteraan. Soalnya, sudah terlalu lama, sejak era konflik hingga perdamaian berumur 17 tahun, mayoritas rakyat Aceh belum jua merasakan kesejahteraan, apalagi kemakmuran.

Aktor-aktor lokal di Aceh harus menjaga keseimbangan atas segala pendapat dan pendapatannya, supaya perdamaian Aceh benar-benar berkelanjutan.

Paul Collier (2006:23)  dalam penelitiannya telah mengingatkan bahwa 50 persen konflik bersenjata asimetris kembali kambuh setelah 5-10 tahun pascadamai. Walau pendapat Paul Collier tidak sepenuhnya relevan untuk Aceh, tapi ancaman-ancaman kekerasan (security approach) secara struktural birokrasi perlu mendapat kewaspadaan dari aktor-aktor di Aceh.

Harapannya, Aceh ke depan, tidak hanya dikendalikan oleh aktor politik, aktor kombatan, dan aktor agamawan, tapi semua aktor harus mmendapat ruang untuk berperan dalam mengisi perdamaian Aceh.

Pembangunan dalam suasana damai yang dilakukan bersama-sama akan menjadi energi baru bagi Aceh. Perbedaan cara pandang sesama orang Aceh dalam mengisi pembangunan hendaknya tidak sampai mereka diklaim sebagai pengkhianat. Akan tetapi, harus disebut sebagai aktor-aktor yang memiliki niat baik untuk mengisi pembangunan Aceh.

Namun demikian, kontestasi aktor-aktor yang disebutkan di atas bukanlah absolut. Karena Aceh pasca-MoU Helsinki memiliki seabrek persoalan—mulai dari mengganjalnya turunan UUPA, elite terpecah-pecah, dan melemahnya diplomasi aktor-aktor di Aceh—maka langgam penanganannya sangat “ditentukan” oleh aktor bisnis dan aktor militer. Dan sejak 6 Juli 2022 lalu, tanda-tanda itu mulai terlihat. []

NOTE; Tulisan ini bagian dari buku “17 Tahun Damai Aceh: Refleksi dan Harapan” Terbitan Bandar Publishing bekerjasama dengan Grup New KSA . Akan terbit akhir Agustus 2022.

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Tunggu Sedang Loading...