Take a fresh look at your lifestyle.

Mencari Lagi Nurdin Abdurrahman

Oleh: Sulaiman Tripa.
Penekun kajian hukum dan masyarakat.

Sudah lama saya ingin menulis tentang sosok penting ini. Penting untuk hal tertentu, bagi sebagian pihak, bisa jadi tidak penting, bagi pihak yang lain. Dulu, saat sosok ini berkuasa, saya masih belum bisa memahami dengan baik setiap masalah yang muncul. Masih anak-anak.

Nurdin Abdurrahman, sosok itu, mengingatkan saya kepada lima catatan yang sudah lama saya simpan. Pertama, catatan Rosihan Anwar, seorang wartawan senior di Indonesia, membuat kisah menarik tentangnya, melalui tulisannya “Brief Encounter in Aceh” (Kompas, 9 Juni 2003). Rosihan Anwar, menyebut Nurdin sebagai “bupati jango”. Padahal cuma brief encounter, pertemuan singkat. Melihat Nurdin, Rosihan merasa seperti melihat “koboi jango” yang diperankan Franco Nero.

Pertemuan singkat mereka pada 1986. Saat itu, ada pertemuan sastrawan Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Tentu dapat ditebak, bahwa pertemuan itu sangat berlatar belakang seniman ketimbang Nurdin yang saat itu sebagai seorang bupati. Dalam pertemuan itu, hadir pula beberapa orang terkenal di Indonesia. Ada Mochtar Lubis, Arifin C Noer, Jajang C Noer, Taufiq Ismal, Sutardji Calzoum Bachri, LK Ara, Ibrahim Alfian, Hasballah.

Hanya Nurdin sebagai seniman, yang memungkinkan pertemuan itu terlaksana di sana, dan menidurkan para tamu di kamar rumahnya. Bukan di tempat penginapan. Ini sebuah cermin yang sering lupa dimaknai orang bahwa rumah, sesederhana apapun bentuknya, mencerminkan marwah dan martabat. Sebaliknya, rumah megah dan mewah, bila itu milik orang lain, tentu tidak ada artinya.

Apa yang menarik dari brief encounter yang diceritakan Rosihan? Ternyata beberapa tahun kemudian, bahwa sampai Nurdin meninggal dunia, Jabal Gafur itu bukan lagi sebagai sebuah bukit yang angker. Tempat yang penuh sejarah karena sebagian prosesi damai kasus Aceh bergolak berlangsung di bukit Jabal Gafur itu.

Nurdin Abdurrahman telah membuat Jabal Gafur sebagai bukit bersejarah, di mana di tempat itu, Nurdin kemudian menggagas untuk mendirikan sebuah kampus yang megah bernama Universitas Jabal Gafur untuk mendidik generasi muda (penerus) Aceh masa depan. Kampus yang sempat meucuhu auranya.

Yang sangat direkam Rosihan, adalah pada saat mengatakan Nurdin mengatakan kepadanya, bahwa: “Orang di sini cenderung memandang secara ekstrem dan hanya mengenal warna hitam atau putih. Warna kelabu tidak dikenalnya. Melalui pendidikan, semua itu perlahan-lahan akan dapat diubah.”

Baca Juga:  Ummi Ainiyah: Jejak Teungku Inong Dayah di Aceh

Nurdin, untuk meyakinkan banyak pihak, mengangkut semua sastrawan Melayu yang hadir ke tapak Jabal Gafur tempat mau didirikannya kampus. Namun apa yang terpikirkan, setelah 20-an tahun kemudian, ketika konflik dan awal-awal pascakonflik, kampus megah itu hampir kembali menjadi tempat angker yang tidak semua orang mau mendekat ke sana. Barangkali alasan inilah yang menjadikan sebagian lokasi kampus pernah dipindahkan ke tengah kota.

Kedua, sebuah catatan yang saya temukan secara tidak sengaja. Sebuah berita Serambi Indonesia (3 Mei 1997) tentang pembangunan Irigasi Baro Raya. Dalam berita itu dijelaskan, bahwa Nurdin datang bergotong royong massal membendung saluran pembuang Kajhu Irigasi Baro Raya. Kepada para petani, Nurdin mengatakan, ia termasuk yang berdosa atas pembangunan Irigasi Baro Raya yang menyedot Rp140 miliar itu. Nurdin mengakui, termasuk orang yang paling berperan dalam penjajakan dan survei sebelum pembangunan memulai proyek raksasa tersebut.

Nurdin mengakui dengan jelas, bahwa pembangunan yang banyak mengundang banyak masalah bagi petani tersebut, dicetus pada saat ia menjabat bupati. “Saya tidak pernah menyangka kehadiran proyek raksasa ini, hanya menyengsarakan banyak petani,” katanya.

Yang sempat saya pikir, bahwa sekarang ini betapa susah kita dapati seorang mantan pejabat yang mau mengakui dengan jujur bila ternyata ada proyek yang bermasalah. Yang banyak kita temui adalah saling lepas tangan dan saling menyalahkan satu sama lain. Berbeda dengan Nurdin, yang turun tangan untuk menyelesaikan masalah yang ada dalam kebijakannya.

Ketiga, perbincangan dengan banyak orang yang saya lakukan di warung-warung kopi, baik dengan orang Pidie maupun orang di luar Pidie. Beberapa kali saya dengar politisi berpengaruh yang berasal dari luar Pidie, mengatakan: “Bila saya menjadi bupati, saya akan menjalankan amanah seperti yang dijalankan Nurdin Abdurrahman di Kabupaten Pidie.”

Orang Pidie, awalnya banyak yang tak mengenal Bupati Nurdin. Pasalnya, ketika berkunjung ke kawasan terpencil, Nurdin sering duduk dengan siapa saja dan membahas apa saja. Seorang pejabat yang menyembunyikan jabatannya ketika ingin mengetahui persoalan di dalam masyarakat secara langsung.

Kondisi semasa Nurdin memang berbeda dengan masa-masa konflik, di mana seorang pejabat akan mengalami berbagai hambatan dan kendala ketika mau mengunjungi sebuah kawasan. Sehingga banyak persoalan tidak bisa didapatkan secara langsung melalui komunikasi yang dulu sering dilakukan Nurdin.

Baca Juga:  Dari Penjara Keudah ke Pasar Minggu

Keempat, penuturan Irwan Abdullah (Tempo, 30 Januari 2005), yang pernah menjabat Direktur Program Pascasarjana di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Menurutnya, di Aceh hanya etnis Pidie yang punya tradisi kuat merantau. Pria pada etnis itu, menganut sistem kekerabatan matrilineal. Pria ikut keluarga istri ketika menikah. Juga tak punya hak memutuskan apa pun. Karena itulah banyak lelaki Pidie yang memutuskan hijrah.

Kondisi ini, menurut Irwan, memungkinkan orientasi keluar yang sangat kuat dalam masyarakat Aceh secara umum. Malah ada mitos akronim Aceh, berasal dari Arab (A), Cina (C), Eropa (E), dan Hindia (H). Komposisi ini, menurutnya, menjadikan komposisi kultural masyarakat Aceh yang sangat beragam sehingga dengan mudah menerima sesuatu dari luar. Demikian juga orang Aceh dengan mudah beradaptasi di luar.

Kelima, Nurdin jauh lebih dikenal sebagai sastrawan ke seluruh dunia Melayu ketimbang seorang bupati. Kondisi ini berpengaruh terhadap komunikasi yang ia bangun dengan orang dari berbagai kalangan. Kondisi inilah yang diakui Hamsad Rangkuti, seorang cerpenis terkenal Indonesia yang berkunjung ke Aceh pada masa itu dan menyelesaikan cerpennya yang berjudul “Penjual Kacang dari Beureunuen”. Saya hamper tidak pernah menemukan sastrawan besar lain, yang merekam orang yang dikenalnya dalam cerita yang kemudian dikenang berwaktu-waktu.

Nurdin lahir di Caleue, pada 12 April 1940. Menyelesaikan Sarjana Ekonomi Universitas Syiah Kuala pada 1973. Sempat menjabat Ketua Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) Aceh (1966-1970).

Karena seniman pula, Nurdin mendapat forum di berbagai negara: Pakistan, Banglades, Singapura, Malaysia, Australia, Filipina, Turki, Netrerland, Perancis, dan Saudi Arabia.

Puisi-puisinya terdapat dalam buku Seulawah. Doel CP Allisyah (2006), kemudian mengangkat beberapa puisi Nurdin dalam buku “Lagu Kelu”. Sebuah buku puisi miliknya juga dituliskan pada 1980.

Kenyataan ini menggambarkan betapa posisinya sebagai sastrawan, ternyata sangat berpengaruh dalam bentuk menjalankan roda pemerintahan di Pidie. Bahkan selama jabatan Bupati, pada 1987, Nurdin melaksanakan Musbaqah Tilawatil Quran (MTQ) besar-besaran di Jabal Gafur. Beberapa tahun sebelum itu, Jabal Gafur sudah diberikan tapak kampus. Saat itu, Nurdin memelopori pembangun kampus dengan berbagai cara. Termasuk menjual aksesoris kampus ke seluruh Pidie dan Aceh.

Baca Juga:  Jeumala Amal; Rumah Belajar Segalanya.

Ketika saya mau masuk sekolah Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Panteraja, anak-anak seusia saya dengan bangga membeli dan memakai pulpen berlogo Jabal Gafur sambil membantu dari keuntungan itu untuk membangun Jabal Ghafur. Kami dengan bangga ikut menjadi bagian dari anak-anak yang mencari botol bekas yang sangat langka, untuk diberikan kepada pengumpul dari bagian pembangunan Jabal Ghafur. Ingatlah bekas botol limun, waktu itu sesuatu yang langka, karena hanya orang kaya saja yang mampu memberi dan meminumnya. Itu pun, mereka akan menyimpan botol di rumahnya sebagai kenang-kenangan.

Saya kira, kelima kondisi inilah yang membuat posisi Nurdin Abdurrahman sangat fenomenal. Di samping posisi Nurdin sendiri yang sukses menjalankan roda pemerintahan di Pidie selama dua periode (1980-1990) –durasi waktu jabatan yang sangat jarang ada di Indonesia.

Dari berbagai kondisi di atas, menimbulkan pertanyaan, akankah sisi positif dari Nurdin ini menjadi inspirasi banyak orang? Tapi saya tetap melihat satu yang paling luar biasa, ketika menjadikan pendidikan sebagai solusi menjadikan generasi Aceh yang pandai di masa depan.

Tapi ini memang berat. Apalagi ketika sekali-kali bila berkunjung ke Jabal Gafur, kita akan melihat kampus itu bukan seperti kemegahan yang pernah ada dalam catatan sejarah. Ketika para sastrawan Melayu bertemu dan bertukar pikiran di sana. Sebagai orang yang bergiat juga juga dalam sastra, sesekali bila berjumpa dengan penyair Melayu yang pernah ke Aceh, mereka selalu menanyakan kondisi Jabal Gafur. Saya tidak bisa membayangkan apakah pertanyaan ini akan muncul dari kalbu kita yang dekat dengan kampus ini?

Dalam pembangunan pendidikan di sana, saya mencatat kenyataan lain, bahwa peran sastrawan yang sangat besar dalam mengkomunikasikan dan mencatat proses sejarah pendidikan yang kini terkesan kerdil. Tapi mungkin saja, orang lain akan melihat hal ini secara berbeda.

Mudah-mudahan bermanfaat!

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Tunggu Sedang Loading...