Take a fresh look at your lifestyle.

Memahami Kalkulasi Nasib dan Nasab Dalam Kehidupan Serdadu di Indonesia

Oleh: Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad.
Dosen UIN Ar-Raniry, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.

Esai ini hadir ketika saya membaca karya Slamet Singgih yang berjudul Intelijen: Catatan Harian Seorang Serdadu. Buku ini membuka tabir dunia ketentaraan Republik Indonesia, sejak Orde Lama hingga Orde Reformasi.

Bagi saya, buku ini “lulus sensor” bagi publik untuk mengetahui tentang kehidupan seorang tentara dari awal merangkak hingga mendapatkan posisi puncak. Ketika membaca karya-karya memoar tentara, saya selalu membagi kehidupan mereka dalam teori 30+30+30+10=100 %. Maksudnya, kehidupan seorang tentara dibagi ke dalam 30 persen untuk karir kemiliteran sampai posisi puncak, 30 persen persiapan ketika sudah pensiun, 30 persen untuk keluarga, dan 10 persen untuk fungsi-fungsi sosial kemasyarakatan yang bersifat spiritual. Tentu saja, teori ini didapatkan ketika membaca memoar tentara seperti kisah hidup Sintong Panjaitan, LB Moerdani, Yoga Sugomo, Soemitro, Ali Moertopo, dan karya-karya lainnya tentang penugasan demi penugasan yang dilakukan oleh tentara, baik dalam operasi terbuka maupun operasi tertutup.

Setelah membaca beberapa karya di atas, sebagai peneliti sosial-antropologi, saya tergerak untuk menulis suatu studi utuh tentang dunia ketentaraan di Indonesia. Karya biografi para tentara merupakan life story yang menarik untuk dikupas secara mendalam. Data tentang kehidupan pribadi mereka, sebagaimana dituangkan dalam buku, baik ditulis oleh para penulis maupun disajikan oleh mereka sendiri, ketika sudah pensiun. Merupakan khazanah yang menarik untuk diteliti oleh para peneliti ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Sejauh yang diketahui belum ada karya tentang dunia ketentaraan Indonesia yang diangkat dari memoar atau kisah perjalanan hidup para serdadu. Karena itu, membedah dunia militer Indonesia merupakan salah satu kajian yang mutlak yang harus dilakukan.

Jejaring karya untold story para serdadu Indonesia kadang menguak cerita-cerita besar yang seolah-olah berdiri sendiri, namun ternyata merupakan hasil dari upaya pembangunan jejaring perkawanan yang dilakukan oleh tentara. Misalnya, salah satu bankir asal Aceh yakni Adnan Ganto merupakan karib L.B. Moerdani, yang tampaknya memberikan pengaruh terhadap berbagai keputusan strategis bagi bangsa Indonesia. Ketika Moerdani mengetahui tentang sosok Adnan Ganto, dia meminta bawahannya untuk mengecek latarbelakang keluarganya di Aceh Utara, tepatnya di Buloh Blang Ara. Tampaknya, setelah “bersih” baru kemudian Moerdani menjadikan Adnan Ganto sebagai salah satu putra Aceh yang dapat berdekatan dengan kekuasaan di republik ini. Tampaknya, ketika membaca karya-karya biografi tokoh sipil, pun tampaknya akan didapatkan penjelasan demi penjelasan, bagaimana jejaring yang dibangun oleh tentara Indonesia untuk membantu pemerintah Indonesia.

Adapun contoh lain adalah keterlibatan Ali Moertopo dalam pendirian CSIS (Centre for Strategic and International Studies), sebagai salah satu lembaga think tank yang memberikan pengaruh yang amat signifikan bagi perjalanan pemerintahan Orde Baru. Hubungan ini dapat dibaca, misalnya, dalam memoar Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru, di mana disitu terlihat bagaimana kemudian rezim Soeharto, dikendalikan antara aliansi militer dengan intelektual melalui CSIS. Dari lembaga ini, Ali Moertopo mendapatkan berbagai masukan untuk hala tuju bangsa Indonesia. Harry Tjan Silalahi menuturkan bahwa: “Pak Ali bersama dengan beberapa kawannya dan dengan restu komandannya, Pak Harto, mendirikan dan mengasuh CSIS” Dalam memoar Soemitro, lantas diketahui bahwa peran CSIS ternyata menjadi permasalahan tersendiri di lingkungan para petinggi militer. Cerita ini dapat disimak dari ungkapan Soemitro berikut ini:

Baca Juga:  496 Hari di DPRK Aceh Besar; Suatu Pertanggungjawaban Publik

Ada usul-usul untuk menghapus CSIS (Centre for Strategic and International Studies) yang didirikan ada tahun 1971. Di tengah masyarakat timbul kesan seolah-olah CSIS itu yang menentukan kebijaksanaan politik pemerintah. Seolah-olah semua konsep pemerintah adalah hasil pemikiran dan godokan CSIS.

Di samping itu ada kecurigaan terhadap golongan Kristen pada saat itu. Suara-suara itu tidak segera saya jawab. Saya pergi dulu kepada Pak Harto, dan saya kemukakan pertanyaan kepada Pak Harto, apa benar semua hasil pemikiran CSIS itu menjadi sumber kebijaksanaan pemerintah?

Pak Harti menjawab dengan tegas: “Tidak benar itu. Yang baik saya masukkan, saya terima. Saya mempunya banyak sumber. Saya punya kabinet. Jadi, tidak berarti bahwa saya melaksanakan semua hasil godokan CSIS.” Pak Harto berkata begitu dengan sinis kepada saya.

Maka saya panggil jenderal Ali Murtopo. Saya minta agar citra seperti itu dihapus, dan itu biasa datang karena kecongkakak anggota. Juga saya minta dihilangkan kesan, bahwa CSIS adalah “Kingmaker.”

Kutipan di atas merupakan pernyataan tegas Soemitro. Ini menunjukkan bagaimana intrik di dalam maupun luar istana, di antara sesama petinggi militer. Tidak hanya itu, Soemitro juga mengklarifikasi tentang rivalitas dirinya dengan Ali Moertopo. Soal rivalitas juga ditemui antara Prabowo dengan Slamet Singgih dalam karya memoarnya. Persoalan rivalitas dalam dunia kemiliteran juga dikupas dalam biografi Sintong Panjaitan. Tampaknya, beberapa peristiwa besar di republik ini tidak dapat dipungkiri juga dipicu oleh rivalitas dan bagaimana mereka mendekatkan diri dengan pihak istana negara.

Melalui teori 30+30+30+10, kehidupan karir seorang serdadu dapat dipahami dan dimengerti, mengapa mereka ada yang terus berkiprah setelah  selama bertugas dan purna-tugas. Dari beberapa percakapan saya dengan prajurit,  Pamen, dan Pati, didapatkan beragama cerita, bagaimana teori diterapkan. Mereka menjaga jiwa korsa satu angkatan, untuk salin menjaga dan menaikkan antara satu sama lain. Persoalan angkatan ketika membaca karya-karya serdadu tersebut, memperlihatkan hirarki senior dan junior dalam dunia kemiliteran di Indonesia. Hal ini juga didapatkan ketika saya duduk-duduk dengan aparat keamanan dari Polri. Persoalan senior dan junior terkadang begitu berperan di dalam melaksanakan tugas atau kegiatan di lapangan. Demikian juga dalam persoalan keluarga, tidak mengejutkan jika kemudian banyak anak tentara yang masuk tentara. Dari hampir semua percakapan saya dengan tentara dan Polri, mereka rata-rata memiliki anak 1 atau 2. Dalam beberapa kasus, ada yang memiliki lebih dari dua anak. Dapat dikatakan, bahwa sekarang era tentara generasi kedua atau ketiga. Dapat diprediksi bahwa mereka akan mendapatkan karir puncaknya pada tahun 2020-an.

Baca Juga:  Mengapa Negeri Kaya Alam, Tetapi Aceh Miskin?

Anak-anak mereka tidak sedikit sudah mencapai tingkat Perwira Menengah (Pamen). Jika anak-anak mereka perempuan, tidak jarang pula dinikahkan dengan prajurit terbaik, supaya masa depan mereka terarah dan terjamin. Bangunan studi tentang keluarga prajurit memang menarik untuk dicermati. Anak SBY yang masuk tentara yaitu AHY, saat mengundurkan diri berpangkat Mayor, sekarang meneruskan karirnya dalam bidang politik. Sedangkan, anak Luhut Binsar Panjaitan (Paulus Panjaitan), sudah berpangkat Mayor. Belum lagi keluarga A.M. Hendropriyono dimana menantunya, yang sudah mencapat pangkat bintang empat di pundaknya. Hal ini belum lagi, ketika ada ada alumni Akmil yang nikah dengan anak-anak para jenderal. Mereka saat ini hampir rata-rata berpangkat Mayor ke atas. Hal yang sama juga tampak dari keluarga Polri, dimana anak-anak mereka tidak sedikit yang masuk Akademi Polisi.

Adapun persoalan lainnya adalah pemasukan-pemasukan diluar kapasitas sebagai tentara. Bahkan lebih dari itu, mereka juga memikirkan pekerjaan apa yang dilakukan setelah pensiun. Di sini persoalan “dikaryakan” sangat penting dipikirkan, terutama mereka yang memiliki pengaruh dalam lingkaran pemerintah. Tidak mengejutkan ketika sudah purnawirawan, ada yang menjadi komisaris, dubes, menteri, hingga penasihat pemerintah atau di BUMN. Demikian pula, jika membaca buku Slamet Singgih, tampak bagaimana “amplop,” “sangu”, dan “setoran” menjadi fenomena tertentu untuk kesejahteraan tentara. Di beberapa kota besar, dalam salah satu sesi duduk dengan seorang Pamen, para pengusaha, terutama dari etnis tertentu, selalu “mendekati” petinggi militer di wilayah tersebut, untuk kelancaran bisnisnya.

Di kalangan Polri juga tidak berbeda jauh. Ketika melewati perbatasan antara Sumatera Utara dengan Aceh, maka pada dini hari hingga menjelang Shubuh, terjadi razia dadakan di depan salah satu Polsek. Mereka memberhentikan kendaraan dari Aceh, lalu mencari sebanyak mungkin kesalahan yang dimiliki oleh pengendara, dari UU Lalu Lintas. Berbeda lagi dengan oknum di pinggir jalan di perempatan jalan yang ramai di provinsi tetangga, biasanya kesalahan sekecil apapun, akan berujung untuk “diselesaikan” di tempat. Hal serupa juga kerap terjadi di salah satu kota di provinsi Aceh Aceh. Beberapa kali terlihat bahwa sasaran utama adalah “anak gadis” atau “remaja” yang dipastikan tidak memiliki kelengkapan saat mereka berkendara di jalan raya.

Baca Juga:  Perayaan Hari Buruh di Finlandia

Fenomena di atas memang termasuk dalam salah satu 30 persen yang harus dipenuhi oleh para tentara. Sehingga di sini yang terjadi adalah tahu sama tahu atau saling mengerti antara satu sama lain. Jenderal (Purn) Soemitro menulis dalam memoarnya sebagai berikut:

Kejadian lain, saya bertemu dengan beberapa veteran yang mencari pekerjaan. Saya segera mengulurkan tangan, mencoba menolong mereka. Saya tunjukkan ini, tunjukkan itu, telepon ini, telepon itu. Saya memang sudah berpikir lama pula mengenai mereka yang sudah pensiun.

Apa mereka disuruh melarat?  Apa mereka disuruh jadi pengemis? Setelah mereka perang, berbuat macam-macam, apa salah kalau sudah pensiun mereka bisnis? Waktu masih aktif lalu berbisnis, itu keliru! Itu kejahatan! Tapi kalau sudah pensiun, tak ada masalah. Malahan kita masing-masing dipaksa untuk menolong diri sendiri. Dari pensiun saja, mereka takkan bisa hidup. Kasihan mereka.

Perut nomor satu. Kehormatan ditentukan juga oleh perut.

Ungkapan ini sebenarnya menunjukkan bahwa tidak ada yang keliru ketika seorang purnawirawan “bekarya” setelah pensiun. Di sini dapat dipahami tentang konsep keseimbangan antara “logika” dan “logistik” dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Adapun 10 persen upaya para tentara untuk melakukan pemantapan spiritual, supaya memiliki kekuatan dalam bertugas, dalam membangun pengaruhnya dalam bidang sosial kemasyarakatan, karir,  kharisma dan “benteng” untuk selama penugasan. Keberadaan guru spiritual bagi petinggi militer adalah suatu keharusan. Beberapa buku tentang memoar militer memang jarang menyentuh aspek ini. Namun, fakta ini tidak dapat diabaikan sama sekali. Mendatangi “orang pintar” adalah hal yang lumrah. Menanyakan bagaimana nasib karir dan keluarga. Bahkan di dalam mengambil keputusan strategis pun, pengaruh “tokoh spiritual” sangat signifikan. Slamet Singgih menceritakan bagaimana pengaruh Romo Soediyat dalam karir kemiliterannya. Romo Soediyat ini disinyalir sebagai Guru Spiritual Pak Harto. Tidak hanya itu, Pak Harto juga akrab dengan dunia klenik, sebagaimana terlihat peran Sudjono Humardani. Disebutkan bahwa Sudjono Humardani kerap membantu Pak Harto dalam hal yang bersifat irrasional.[]

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Tunggu Sedang Loading...