Take a fresh look at your lifestyle.

Manusia dan Kerusakan Lingkungan

Oleh: Sulaiman Tripa.
Dosen FH Unsyiah, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.

Setiap memperingati hari bumi, ada satu hal krusial yang sering didiskusikan, yakni mengenai keberadaan manusia dengan segenap kebutuhan sumber dayanya. Hal ini tentu tidak sederhana, karena bertambahnya penduduk dengan berlipat ganda. Kemarin dalam kolom ini, saya sebut betapa pertambahan penduduk sangat luar biasa dalam setengah abad terakhir.

Pertambahan penduduk dengan berlipat ganda ini bisa kita lihat dalam pertambahan penduduk yang terjadi dari tahun ke tahun. Penduduk dunia, kini sudah lebih 7 miliar. Pada tahun 2025 diperkirakan penduduk mencapai 8,3 miliar. Tahun 800 SM, penduduk dunia hanya 5 juta. Tahun 1650 sudah mencapai 500 juta. Angka 1 miliar didapat sejak 1830. Satu abad kemudian (1930), penduduk bumi mencapai 2 miliar. Hanya berselang 30 tahun (1960), sudah mencapai 3 miliar. Lalu berturut-turut 4 miliar (1975), dan 5 miliar (1987).

Dengan jelas tergambar, betapa di awal-awal pertambahan penduduk 500 juta harus dilalui dalam waktu 1500 tahun. Namun coba lihat diakhir, pertambahan 1 miliar penduduk dunia hanya berlangsung dalam waktu sekitar 12 tahun saja.

Di Indonesia sendiri, pertambahan penduduk juga luar biasa. Pada tahun 1900, jumlah penduduk Indonesia sejumlah 40 juta. Berturut-turut menjadi 60 juta (1930), 95 juta (1960), 180 juta (1990), 210 juta (2000), 235 (2010), dan diperkirakan pada 2035 sudah mencapai 400 juta.

Tulisan ini tidak ingin melihat lebih jauh dalam perspektif politik dan ideologis, namun difokuskan pada masalah pengaruh budaya konsumtif dalam kerusakan lingkungan.

Dalam konteks politik, bisa jadi ada ketimpangan yang luar biasa sedang berlangsung antara negara maju dengan negara berkembang. Regulasi global lebih banyak ”mengorbankan” negara berkembang demi kepentingan global. Artinya negara berkembang lebih banyak memasang badan untuk menyelamatkan bumi.

Baca Juga:  Ketika Abusyik dan Misyik Jadi Relawan di Sekolah Finlandia

Demikian juga dalam konteks ideologis, misalnya program-program pembatasan ketat penduduk hanya berlaku pada masyarakat ideologi tertentu. Dalam lingkup yang lebih yang lebih luas, konteks ideologi ini juga berhubungan dengan politik demografi global.

Tulisan ini ingin mengenyampingkan persoalan tersebut. Ada kenyataan yang tidak bisa ditepis, bahwa ”ledakan” penduduk sedang terjadi –terlepas apa dan bagaimana diskusi yang berlangsung di belakang proses pelipatgandaan penduduk tersebut.

Bila saja pelipatgandaan ini tidak bersentuhan dengan berbagai aspek lain, maka sungguh ”ledakan” penduduk bukanlah hal yang perlu dicemaskan. Masalahnya adalah, pertambahan penduduk memiliki konsekuensi kepada meningkatnya berbagai kebutuhan bagi manusia dalam kehidupannya. Masalah yang berkaitan dengan tulisan ini lebih khusus, bukan saja pada kebutuhan, tapi pada ’ketamakan’ konsumtif manusia, di mana untuk kebutuhan seorang bisa sebanding dengan puluhan orang lainnya.

Kebutuhan paling penting dalam hidup manusia adalah pangan, sandang, dan papan. Peningkatan penduduk membawa pengaruh langsung terhadap peningkatan kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Sebagaimana kita tahu, bahwa pangan, sandang, dan papan, berkaitan erat dengan kondisi lingkungan.

Dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan, manusia cenderung berperilaku seperti ”catok” (cangkul). Proses pemenuhan kebutuhan ini berlangsung seperti sebuah laga, sebuah tanding yang keinginan akhir adalah dapat memenuhi kebutuhannya secara maksimal. Namun bila dihitung-hitung, kebutuhan maksimal manusia ini lebih kentara berkaitan dengan gaya hidup manusia. Orang berusaha sekuat tenaga bukan karena butuh makan, pakaian, dan tempat tinggal. Semakin banyak orang menginginkan kemewahan karena persoalan ”pertarungan” gaya hidup.

Corak kehidupan manusia seperti ini, hakikat dari mengentalnya budaya konsumtif dalam kehidupan kita. Perilaku seperti inilah yang kemudian akan turut mempercepat proses kerusakan lingkungan. Peningkatan kerusakan akan semakin gila-gilaan dengan semakin meningkatnya orang yang memiliki tingkat konsumtif tinggi.

Baca Juga:  Lingkungan dan Kegagalan Kebijakan

Barangkali, disadari atau tidak, betapa banyak orang-orang yang memiliki tabiat makan berlebihan, rumah supermewah, maupun pakaian yang serba mahal. Untuk memasak makanan di restoran seorang berkantong tebal, bisa saja setara dengan kebutuhan orang sekampung. Beriring dengan itu, kebutuhan energi untuk pendingin dan lampu ruangan di rumah mewah, barangkali sebanding dengan kebutuhan listrik orang semukim.

Di samping itu, banyak rumah-rumah besar itu hanya berpenghuni dua hingga empat orang, dengan menghabiskan energi setara dengan kebutuhan pendudukan satu kecamatan. Barangkali sudah dianggap wajar bila kebutuhan satu orang dengan tipe konsumtif, setara dengan kebutuhan banyak orang di sekelilingnya.

Pada akhirnya, penyelamatan lingkungan harus berjalan seiring dengan penataan pola hidup juga. Orang yang mengkampanyekan lingkungan, harus benar-benar berkomitmen tidak melakukan perbuatan yang bisa membawa ke arah yang merusak lingkungan.

Dalam dunia yang didominasi oleh politik hiburan, kenyataan kondisi jiwa yang terbelah sering terjadi. Kampanye lingkungan hidup terus dilakukan dengan melibatkan orang-orang ternama. Kampanye lingkungan disandingkan dengan selebritas. Tidak jarang, orang-orang yang dijadikan simbol kampanye lingkungan, sebenarnya memiliki mental perusak lingkungan yang nomor wahid.

Konsep perusakan lingkungan juga terus didatarkan. Seolah-olah yang termasuk perusak hanya para pelaku saja. Padahal dari bahan yang diproduksi dari sumberdaya lingkungan hidup, akan dipakai oleh manusia kebanyakan.

Di sinilah kaitannya antara budaya konsumtif dan kerusakan lingkungan. Orang-orang yang memiliki kekayaan, mengisi pernak-pernik rumahnya dari sesuatu yang berbahan kayu pilihan. Dapat dibayangkan betapa besar kebutuhan kita dari kayu sebagai bahan dasarnya.

Lebih memilih untuk memakai tissue daripada sapu tangan, bukan karena persoalan praktis –satu kata yang semakin keras terdengar dalam era ini, melainkan juga karena ada persoalan gaya hidup. Orang yang memakai sapu tangan sudah tampak seperti orang ketinggalan zaman. Kira-kira, contoh ini persis seperti orang-orang yang pergi ke pasar menenteng keranjang. Sekarang ini, semuanya bisa diisi dengan kantong berbahan plastik –dan lagi-lagi tampak bahwa orang yang rajin menenteng keranjang sudah ketinggalan zaman. Sementara plastik yang memenuhi bumi beresiko kepada tidak bisa berlangsungnya proses penguraian.

Baca Juga:  Refleksi Satu Tahun Pandemi Covid-19; Survivor, Keluarga, dan Korban Bencana

Ada semacam kegundahan terhadap dicap sebagai ketinggalan zaman bila memakai produk-produk daur ulang. Padahal tanpa melakukan daur ulang, sesungguhnya sedang terjadi perilaku yang mengeksploitasi alam terus-menerus.

Orang yang tidak dominan memakai produk daur ulang, bukan karena tidak menyadari betapa pentingnya menyelamatkan lingkungan di masa depan. Perilaku tersebut lebih berkaitan dengan gaya hidup, agar tidak dicap sebagai orang-orang yang ”murahan” karena memakai barang-barang yang harganya lumayan murah.

Akhir-akhir ini, menjadi semacam momentum untuk selalu mengingatkan kita agar terus berusaha melakukan revolusi dalam penyelamatan lingkungan. Revoluasi itu bisa dilakukan secara sederhana, yakni menahan diri dari godaan gaya hidup. Kita bisa membayangkan bila satu orang saja bisa mengurangi sepertiga kebutuhannya dari hasil yang bisa merusak alam, betapa besar usaha penyelamatan yang telah kita lakukan.[]

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Tunggu Sedang Loading...