Take a fresh look at your lifestyle.

Khanduri dan Pusaran Perubahan Sosial-Masyarakat di Pedesaan Aceh

Oleh: Melinda Rahmawati, S.Pd.

Judul Buku      : Khanduri
Penulis             : Sulaiman Tripa
Penerbit           : Bandar Publishing
Cetakan           : 1, April 2019
Tebal                : 194 Halaman
ISBN                 : 978-623-7081-40-1
Peresensi        : Melinda Rahmawati, S.Pd.

Sinopsis
Salah satu identitas budaya yang dimiliki masyarakat Aceh dan menjadi daya tarik wisatawan adalah tradisi kenduri (tertulis: Khanduri). Sesuai dengan judul buku ini, tradisi Khanduri dalam masyarakat Aceh selalu diadakan setidaknya empat kali dalam setahun. Tradisi ini menjadi salah satu kearifan lokal masyarakat Aceh yang masih dilestarikan, terutama pada masyarakat yang tinggal di desa (tertulis: Gampong). Tidak hanya tradisi Khanduri, masyarakat Aceh juga masih menjalankan tradisi Peusijuek (Tepung Tawar), Peucicap (pengenalan berbagai rasa pada bayi), Tueng Linto/Dara Baro (menerimaan  mempelai laki-laki/perempuan dalam upacara adat pernikahan), dan masih banyak lagi tradisi yang masih dijalankan. Dalam buku ini dijelaskan mengenai pelaksanaan tradisi tersebut oleh masyarakat desa secara nyata dan hidup. Serta pelbagai permasalahan sosial yang bermacam-macam seumpama Khanduri antar daerah di Aceh.

Resensi Buku
Dengan menggunakan nama ‘Khanduri’, buku ini sangat mampu menghadirkan gambaran persoalan masyarakat Aceh dan pertentangan antara tradisi dan arus modernitas. Pada satu sisi, masyarakat Aceh sangat dikenal kukuh dalam memegang adat istiadat nenek moyang mereka. Tetapi disisi lain, arus modernitas yang tidak terfiltrasi dengan baik oleh masyarakat perlahan berhasil mengubah mereka menjadi kelompok masyarakat yang hedonisme, westernisasi, bahkan yang terburuk munculnya sikap apatisme. Tradisi Khanduri dikenal sebagai perayaan yang meriah dan dihadiri seluruh masyarakat desa, tentunya dengan pelbagai hidangan makanan tradisional yang khas. Serta tata cara perayaan Khanduri yang masih terjaga mampu menghadirkan imajiner dari kondisi masyarakatnya. Masyarakat Aceh yang dahulunya hidup secara bergotong royong, terbuka, saling peduli, beradab dan berilmu, serta menjalankan budaya hidup sesuai dengan Islamic Worldview (Pandangan hidup dalam Islam). Kini seolah runtuh dengan gaya hidup masyarakat modern yang melampaui batas. Kemegahan Khanduri kini tidak lain hanya sebuah tradisi. Serta persoalan perubahan sosial yang hadir juga bertumpuk seperti hidangan dalam kenduri tersebut.

Baca Juga:  Mengapa Buku Denys Lombard Penting untuk Dipelajari?

Tradisi Khanduri sebenarnya hadir sebagai implementasi masyarakat Aceh dalam memuliakan tamu. Hal tersebut seperti yang telah diperintahkan dalam Al-Qur’an Surah Hud: 69 yang artinya ‘Dan sungguh telah datang utusan kami (para malaikat) kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan,”selamat”. Dia (Ibrahim) pun menjawab, “selamat” (atas kamu). Maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang’. Bahkan pada sub bagian Khanduri (1), dalam kegiatan takziah kematian saja menghadirkan sebuah kenduri yang tidak lagi terlihat sederhana. Gambaran sosial yang diilustrasikan adalah saat satu tokoh dalam cerita tersebut mengalami sebuah musibah kematian salah satu anggota keluarganya. Kemudian tokoh tersebut mengadakan sebuah kenduri untuk menjamu tamu mereka yang datang bertakziah. Seperti budaya yang telah diajarkan oleh para orang tua terdahulu, ‘setiap yang bertamu adalah raja’. Maka layanilah tamu tersebut layaknya seorang raja. Berikanlah suatu suguhan untuk tamu tersebut meskipun hanya segelas air putih. Namun, dalam sub bagian ini terdapat dua norma sosial yang berlaku. Pertama, mereka yang datang bertakziah menerima suguhan yang diberikah sebagai bentuk penghormatan. Dengan catatan tidak ada niat untuk “mengenyangkan perut”. Kedua, mereka yang menjadi tuan rumah memberikan suguhan hidangan yang tidak lagi hanya sekedarnya. Kenduri yang tadinya dilakukan dengan sederhana kini berubah menjadi Khanduri Rayeuk (Kenduri Raya).

Terakhir, penulis menyampaikan dalam buku tersebut bahwa ‘atas nama uang, banyak kehidupan menjadi tidak masuk akal. … . karena kalkulasi angka-angka sudah dikedepankan, tunggulah kita akan kehilangan segalanya, termasuk tata nilai yang diklaim sangat santun’. Berdasarkan segelintir fenomena yang disebutkan, modernisasi yang bergulir secara perlahan menggeser nilai dan norma yang berlaku. Pelbagai hal yang dahulunya dianggap tabu dan dilarang, kini seolah telah menjadi pemandangan biasa terlihat. Sebuah tradisi meriah seperti kenduri, kini tidak lebih sebagai kegiatan rutin yang dilakukan. Tidak lagi dimaknai filosofinya untuk merekatkan tali silaturahmi dan ajang untuk saling menolong. Tradisi Khanduri di masyarakat kampung memang masih memegang filosofi tersebut, tetapi lain ketika kita melihat tradisi tersebut di masyarakat kota. Hal tersebut menjadi refleksi bagi siapapun yang membaca buku ini terkait dinamika perubahan sosial-masyarakat di pedesaan Aceh.

Baca Juga:  BUKU TERBAIK SEPANJANG 2020

Kepengarangan
Sulaiman Tripa adalah pengajar di Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Diluar aktivitasnya sebagai pengajar, Sulaiman Tripa aktif mengisi kolom kupiluho.wordpress.com dan berbagai kolom lain di media cetak maupun online, serta berbagai wadah kepenulisan lainnya. Dengan mengelola komunitas Sikola Merangkai Kata, Sulaiman Tripa menyediakan wadah dan saling membantu untuk mereka yang ingin belajar menulis.

Kelebihan
Dalam buku ‘Khanduri’ ini, tidak hanya berbicara mengenai pelbagai tradisi yang masih dilaksanakan oleh masyarakat Aceh, khususnya yang tinggal di pedesaan. Buku ini turut menghadirkan berbagai dinamika sosial-masyarakat yang berjalan ditengah kelompok masyarakat desa, seperti: perangkat desa (Keujreun, Panglima Laot, dan sebagainya). kemudian persoalan sosial yang terjadi di masyarakat juga diungkapkan dengan berbagai sebutan menarik, seperti: Leumo, Geureuhem, Meupro, Bube, dan masih banyak lagi. Hingga berbagai bentuk westernisasi sebagai dampak modernisasi yang tidak terfiltrasi dengan baik. Rangkaian penggambaran warna-warni persoalan dan perubahan sosial di masyarakat Aceh khususnya yang tinggal di desa, tidak hanya membuka mata kita tentang realitas masalah sosial. Namun lebih dari itu, narasi dalam buku ini mampu merefleksikan diri kita mengenai rasa empati, kepedulian sosial, nilai kesantunan, dan moralitas ditengah modernisasi yang perlahan menghasilkan westernisasi tersebut.

Kekurangan
Namun, sangat disayang buku ini tidak menyediakan glosarium yang berisi kata-kata dalam bahasa daerah yang dituliskan. Sehingga pembaca yang memang belum mengerti bahasa daerah tersebut akan kesulitan pada awal membaca setiap sub bagian dalam buku ini. Sebab dalam buku ini terdapat beberapa rutinitas ataupun pernyataan dan sebagainya yang masih menggunakan bahasa daerah saja, belum sepenuhnya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Kesimpulan
Dengan mengangkat ilustrasi tradisi Khanduri dalam masyarakat Aceh. Penulis menyampaikan bahwa dinamika perubahan sosial-masyarakat yang dihadapi sangat meriah dengan pelbagai persoalannya, seperti tradisi Khanduri tersebut. Terdapat beberapa tradisi yang sebenarnya dikalangan masyarakat perkotaan sudah tidak lagi sepenuhnya dijalankan, tetapi pada kalangan masyarakat pedesaan masih dilestarikan. Sehingga membuat semacam keterkejutan budaya bagi mereka yang sebelumnya tidak mengenalnya secara utuh. Bahkan perubahan tersebut perlahan menggeser tradisi budaya dan memunculkan permasalahan baru, seperti: westernisasi, hedonisme, bahkan apatisme menjadi dampak terburuknya. Buku ini sangat direkomendasikan bagi mereka yang ingin mengenal lebih tentang tradisi masyarakat Aceh, khususnya di desa dan segala persoalannya dalam arus perubahan sosial.

Baca Juga:  Lembaga Adat Laot, Visi Poros Maritim Dunia, dan Implementasi Tak Terbantahkan

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Tunggu Sedang Loading...