Take a fresh look at your lifestyle.

Ketika Orang Baik Mudah Diadu Domba. Kenapa?

Oleh: Kamaruzzaman Bustamam Ahmad
Antropolog UIN Ar-Raniry.

Dalam hal ini, ada dua buku yang menarik perhatian saya, yaitu The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion, karya Jonathan Haidt dan The Psychology of Stupidity, diedit oleh Jean-Francois Marmion. Dua buku ini terbit pada tahun yang berbeda. Buku pertama berisi hasil riset mendalam Jonathan Haidt (2013). Sementara buku kedua merupakan kumpulan tulisan yang berasal dari bahasa Perancis, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris (2020).

Saya menemukan korelasi yang menarik antara kedua buku ini. Paling tidak, ketika ditemukan beberapa hal menarik dalam buku Psikologi Kebodohan. Misalnya, bagaimana seorang yang cukup pintar masih memercayai sesuatu yang tidak masuk akal. Demikian pula, bahwa internet rupanya lebih banyak menyebarkan kebodohan, daripada kepintaran. Sesuatu yang pasti akan menyebabbkan kebodohan, sementara ketidakpastian akan menyebabkan kegilaan. Lebih menarik lagi adalah ketika kebodohan berkoneksi dengan kepintaran atau kejeniusan, maka yang menang adalah stupidity.

Kebodohan

Tampaknya, kajian tentang kebodohan sama sekali tidak berhubungan dengan jenjang pendidikan, tetapi memang perilaku kebodohan itu sendiri dapat dihadapi oleh siapapun, tidak terkecuali mereka yang sudah memiliki pendidikan yang cukup tinggi. Patrick Moreau mengatakan bahwa:

Sometimes we do stupid things, but more often we say them. Most of the time, they are transmitted through language.

Karena itu, ketika ada peristiwa besar dalam kehidupan manusia, lebih banyak disebabkan karena kebodohan yang melanda mereka, bukan karena kepintaran atau kebijaksanaan.

Dari paparan di atas, ingin dikaitkan jika orang baik kemudian memilih kesalehan, kemudian dikerjai oleh orang jahat yang cerdas. Maka inilah sebenarnya petaka kehidupan yang terjadi selama ini. Mari kita jabarkan secara sederhana, bagaimana orang baik mudah diadu domba. Jonathan Haidt mengatakan bahwa ada tiga tema moral yang dikenal sebagai etika otonomi, komunias, dan divinitas.

Baca Juga:  Lembaga Adat Laot, Visi Poros Maritim Dunia, dan Implementasi Tak Terbantahkan

Etika Otonomi, Komunias, dan Divinitas

Adapun penjelasan ketiga etika tersebut adalah :

The ethic of autonomy is based on the idea that people are, first and foremost, autonmous individuals with wants, needs, and preference.

The ethic of community is based on the idea that people are, first and foremost, member of larger entities such as families, teams, armies, companies, tribes, and nations.

The ethic of divinity is based on the idea that people are, first and foremost, temporary vessels within which a divine soul have been implanted.

Tiga etika di atas dimasukkan ke dalam diri manusia untuk menjalani kehidupan, sebagai individu, anggota sosial, dan memiliki keterhubungan dengan sesuatu yang bersifat keilahian.  Setiap individu akan menjalani kehidupan mereka untuk mempertahankan ketiga hal tersebut, bahkan sampai pada tahapan melakukan kekerasan sekalipun.

Orang yang mementingkan yang pertama, akan selalu membenarkan apa yang diyakininya benar dan memberikan ruang yang kecil pada tahapan negosiasi. Sementara yang kedua, akan melahirkan orang-orang yang hanya memikirkan kelompoknya sendiri. Sementara yang berada di ketiga, akan melahirkan kelompok-kelompok pejuang kebenaran atas apa yang mereka yakini secara kerohanian.

Strategi Iblis

Disinilah mereka kemudian dikelola melalui Strategi Iblis (Devil Strategy), sebagaimana dijelaskan dalam buku On Strategy karya Lawrence Freedman. Buku ini digambarkan bagaimana Iblis mengelola keinginan mereka ketika berdiskusi untuk menaklukkan Kerajaan Langit.  Dialog Iblis dalam buku ini mempertegas bahwa orang baik paling mudah dikelola atau dijahati, ketimbang orang bodoh atau orang jahat.

Hal ini disebabkan, orang jahat yang mengaku baik, akan mudah untuk memanipulasi ketiga etika di atas, untuk kepentingan tertentu. Misalnya, orang jahat yang mengaku akan berbuat kebaikan, akan mengatur strategi bagaimana mengelola orang-orang yang mengaku baik atau bahkan sama sekali orang saleh. Karena itu, ketika ada anggapan untuk mengeluarkan orang saleh dari kerumunan politik atau kegiatan ekonomi, dimana orang jahat yang mengaku baik, saling menjalankan strategi mereka, maka mau tidak mau, para orang saleh atau gerejawan, dipaksa masuk ke dalam gereja, untuk mendengar keluh kesah setiap individu yang bermasalah dengan ketiga etika di atas.

Baca Juga:  Mengapa Buku Denys Lombard Penting untuk Dipelajari?

Orang baik lantas dianggap sebagai pendakwah atau pendoa, karena aspek etika keilahian, dapat mereka komunikasikan dengan alam ghaib. Begitu juga orang jahat yang mengaku sebagai orang baik, cenderung akan menggunakan strategi Iblis, supaya mereka dapat menaklukkan mereka yang orang yang mengakui baik.

Pengakuan terhadap jati diri bahwa dia seorang yang baik merupakan hal yang sering kita jumpai. Orang baik menggetarkan mimbar, namun ketika turun mimbar, etika otonomi individualnya terganggu, maka segala yang dia sampaikan di atas mimbar, mendadak menjadi amnesia. Pola amnesia terhadap kebaikan, memang menggejala, di kalangan siapapun yang belum terpuaskan kebutuhan mereka dalam etika otonomi, komunitas, dan divinitas.

Kesalehan, Kejahatan, dan Kemenderitaan Sosial

Dari uraian di atas, saya ingin memvisualisasikan beberapa hal yang unik ketika mengamati perilaku manusia dan persoalan politik. Pertama, semakin saleh seseorang dalam kancah politik, akan semakin banyak pula hal yang dia lakukan sebagai kesalahan.  Kedua, perilaku orang jahat yang mengakui baik, akan semakin terorganisir, jika mereka memiliki kekuasaan dan otoritas yang tidak terbatas. Ketiga, semakin orang memerlukan pengakuan di tiga domain (individu, sosial, dan keilahian), akan semakin banyak kejahatan yang mereka lakukan secara etika dan moral.

ALSO READ  What are the important lessons for Indonesian from the war in Ukraine?

Rakyat yang paling bawah akan dikelola rasionalitas dan emosionalitas mereka, oleh mereka yang mengaku orang baik padahal orang jahat. Orang jahat yang mengaku baik ini hanya memikirkan dua hal, yaitu kepuasan diri dan kelompok mereka. Sementara orang yang mengaku dirinya baik, akan dikelola oleh orang jahat yang mengaku baik sebagai alat untuk memasukkan keilahian atau relasi emosional kepada rakyat bawah.

Baca Juga:  Lembaga Adat Laot, Visi Poros Maritim Dunia, dan Implementasi Tak Terbantahkan

Mereka memerlukan kitab suci untuk membenarkan apa yang menjadi kepentingan utama orang jahat yang mengaku baik. Saya banyak menemukan orang-orang seperti ini yang cenderung memperjuangkan kepentingan kelompok, kemudian berpura-pura memperjuangkan kemanusiaan. Ayat dan kutipan magik digunakan untuk mengikat kesadaran religi audien. Panggung mimbar bergoyang, seakan-akan pesan langit, sudah selesai dia sampaikan kepada ummat.

Karena itu, kelompok-kelompok orang saleh atau baik, yang belum menjadi orang jahat yang mengaku baik, cenderung akan musnah dalam satu kurun tertentu. Sebab, orang saleh tersebut telah digunakan kesalehan mereka untuk menjadi legitimasi sosial bagi kalangan yang berpura-pura baik, padahal mereka adalah orang jahat.

Akibatnya, kondisi sosial selalu rapuh, sebab kebaikan dan keburukan, akhirnya hanya menjadi fatamorgana sosial. Sebab, semakin diperjuangan kebaikan, maka dia akan terus bergeser dari orang yang mencarinya. Inilah kenapa partai-partai politik yang menjanjikan kebaikan dan perubahan dalam masyarakat, amat sulit dipercayai, jika bukan sebagai pengkhianat nilai-nilai kemanusiaan.

Drama politik itu ibarat satu panggung catur. Apapun kegiatan politik tentu sudah ada yang mengatur. Semua hasil yang diperjuangkan akan dilakukan secara teratur. Disinilah orang baik cenderung saling terbentur.  Sumber: https://kba13.com/mengapa-orang-baik-selalu-mudah-di-adu-domba/

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Tunggu Sedang Loading...