Take a fresh look at your lifestyle.

Interupsi Epistemologis Pikiran Saintifik Hawking

Oleh: Novendra Deje.
Analis Geopolitik di Komunitas Studi Agama dan Filsafat (KSAF).

Sebagai salah seorang fisikawan terbesar abad ini, tesis-tesis kosmofisika Stephen Hawking tidak hanya berkaitan sebatas fenomena alam semesta. Ia bahkan juga mengajukan tesis teologis dengan basis sains fisikanya.

Karenanya, tepat di hari kelahirannya 8 Januari di tahun 1942. Saya ingin memberikan suatu penghormatan pada tokoh berpikiran merdeka ini, dengan membedah pikiran kosmofisikanya terkait isu teologi secara kritis, dengan kerangka pendekatan epistemologi.

Sebelum bergerak lebih jauh, saya ingin terlebih dahulu memberitahukan bahwa artikel ini adalah hasil rekonstruksi tulisan berseri saya yang tersebar secara acak di media sosia dengan judul “Tuhan dan Alam Semesta dalam Pikiran Saintifik Hawking.” Dan kini saya menyuguhkannya dalam bentuk yang lebih utuh, dengan beberapa sisi koreksi yang signifikan mengubah kandungannya.

Untuk diketahui, persembahan Hawking dalam cara kita mempersepsikan realitas, adalah pereduksian makna defenitif “pengetahuan” dari sang tokoh pendukung pembebasan tanah Palestina dari pendudukan rezim Israel ini, yaitu yang hanya mengacu kepada kriteria empiris. Ada prasyarat keyakinan yang tampaknya Hawking harus tumbuhkan pada kita, sebagaimana dikatakannya pada media bisnis IB Times, bahwa “tiada aspek realitas melampaui realitas yang dipahami manusia.” (28/9/2014). Namun “pemahaman” yang dia maksudkan adalah apa-apa yang mungkin dicapai dengan metode sains ilmiah.

Sebagaimana umumnya kita ketahui, positivisme logis menempatkan pengetahuan (sains) hanya dalam batasan-batas empiris. Hal itu menunjukkan bahwa tidak memberi kesempatan bagi adanya pengandaian di luar batas-batas materi. Meskipun akal manusia terkadang sampai pada keputusan tertentu yang niscaya mengenai realitas di luar materi, namun dogma sains yang positifistik memupusnya. Yaitu dengan mengembalikannya pada prasyarat verifikasi empiris sebagai wadah evaluasinya.

Dengan membangun keyakinan seperti itu, sains mengeleminasi jalan pikiran metafisik dari pentas pengetahuan. Konsekuensinya, informasi-informasi yang disuguhkan agama-agama, utamanya terkait tema-tema transenden, tidak memperoleh ruang pengakuan evaluasi bagi memastikan validasinya. Dan Hawkin termasuk diantara salah seorang pemikir yang berkarakter sangat positifistik. Dia sosok yang tidak dapat mengakui sesuatu tanpa memiliki bukti-bukti atau yang terverifikasi dengan data-data empiris.

Kepada Koran El Mundo, Spanyol, Hawking mengatakan, “dulu sebelum kita mengenal sains, (secara) alami mengenal Tuhan. Kini sains menawarkan penjelasan yang lebih meyakinkan,” (21/9/2014). Inilah keyakinannya terhadap sains, sekaligus penentuan batasan darinya atas apa dan bagaimana yang disebut dengan “pengetahuan ilmiah”. Melampau dari itu maka dia tidak memperlakukannya sebagai produk Logos, melainkan (mungkin) hanya sebagai produk mitos yang lahir dan tumbuh dalam tradisi tertentu masyarakat non-ilmiah.

Konsekuensi dari pembatasan kerangka ilmiah yang demikian membuat seorang saintis yang percaya pada realitas metafisik, atau punya keyakinan kepada Tuhan, maka keyakinan itu tidak sejalur dengan pengetahuan ilmiahnya. Secara terpilah, itu akan dianggap semata-mata masalah psikologis yang semata, dikonstruk dalam suatu kebudayaan, tanpa rujukan ataupun acuan objektif apapun dari sisi pengetahuan. Intinya, kepercayaan metafisik dan keyakinan kepada Tuhan tidak memiliki benang merah dengan pengetahuan ilmiahnya. Inilah mental saintis yang tergerogoti gejala shock doctrine, akibat tak harmonisnya jalan ilmiah dengan keyakinan religiusnya.

Namun saya disini tidak sedang menggugat fakta-fakta yang diungkap Hawking terkait fenomena alam semesta. Juga tidak dalam rangka menegasikan berbagai pengandaian dan prediksinya diperlintasan kontinum ruang-waktu, yaitu dalam batas-batas penyelidikan ilmiah dari aplikasi teorinya. Disini saya hanya hendak menggugat pemaksaan pendapat sains atas ranah yang tak terjangkau oleh batasan eksperimen. Berarti, bahasan kita menyentuh soal batasan-batasan bagi suatu metode pengetahuan dalam kapasitas jangkauannya. Dan dari ini, konsekuensi suatu gugatan ke arah tesis-tesis afirmatif Hawking terhadap realitas di luar alam materi menjadi relevan.

Tapal Batas Sains Ilmiah
Bagaimanapun, apa yang tampak bagi sains dalam kriteria batasan ilmiahnya yang positifistik, itu merupakan ranah yang sains punya hak membuat penilaian tentangnya. Sedangkan yang tak terjangkau oleh metode ilmiah, maka tidak sepatutnya sains melampaunya untuk berpendapat. Apalagi memaksakan metode ilmiah melabrak tapal batas, hingga masuk pada ranah upaya menetapkan nilai terhadap objek-objek yang merupakan realitas non-materi.

Baca Juga:  Siem Reap Kota Para Turis dan Pengetahuan

Hal yang utama mesti disadari, sains tetap berhubungan dengan hukum-hukum probabilitas tiada henti. Suatu kesimpulan dari fakta-fakta yang diungkap, merupakan hasil penyisihan probabilitas tertinggi terhadap probabilitas terendahnya. Apa yang diungkap oleh sains atas objek studinya pada batasan ruang-waktu tertentu adalah kondisi parsial sebagaimana ciri utama pengalaman inderawi. Karena itu, sains terus-menerus dalam keadaan mengamati objek-objek pada batas-batas tertentu subjektifitas dalam membuat kesimpulan, dan seterusnya.

Terkadang juga terjadi revolusi terhadap sains, dimana kehadiran paradigma baru membalikkan asumsi-asumsi dasar dunia sains sebelumnya. Hingga mengubah (lapisan) struktur dari metode sains itu sendiri. Seperti halnya hukum Relativitas Umum Albert Einstein secara revolusioner membalikkan asumsi-asumsi mendasar dalam Mekanika Newton yang melandasi prinsip-prinsi kerja sains dalam rentang waktu kemapananya yang panjang sebelumnya.

Jadi, dalam kementakan ini, bagaimana sains boleh membuat kesimpulan niscaya, apa lagi atas objek-objek yang tak terjangkau oleh metodenya yang ketat dalam batasan empiris. Maka dari itu, dengan kriteria ilmiahnya yang demikian, sains niscaya masuk dalam kerangka epistemologi pengetahuan tidak pasti. Inilah pokok gugatan kita, sekaligus suatu jawaban bagi yang merasakan adanya gangguan atas sistem penalaran Hawking yang menghantam keyakinan teologisnya.

Paradoks Informasi Lubang Hitam
Sebagai seorang kosmofisikawan, Hawking telah membuat kemajuan terbesar dibidangnya pada abad ini. Ia sedemikian mengorientasikan bidang kosmologi dan mengerangkai bidang sains fisika untuk membuat berbagai penyelidikan dan penilaian objektif atas fenomena alam semesta. Dari itu, teori Black Holes (Lubang Hitam) nya akan menjadi kunci rahasia yang takkan benar-benar akan terbuka. Dan dia sendiri sangat fokus berupaya memecah misteri alam semesta melalui upaya melacak sejauh mungkin informasi dari Lubang Hitam.

Seperti tersebut pada bagian awal dari tulisan ini, pokok gugatan kita mengacu pada nilai epistemologi atas ranah ilmiah yang Hawking geluti. Pelacakan kita adalah pada yang tampak dari cara Hawking memanfaatkan gagasan-gagasan pedukung kerjanya, tahapan revisi pendapatnya, dan juga gagasan hukum probabilitas dan hubungan ketidakpastian itu sendiri, sebagai penyangga pendapat terakhirnya tentang kemungkinan informasi yang bocor dari lubang hitam.

Ada dua kali revisi dari Hawking tentang teorinya. Saat pertama kali ia mengajukan konsepsinya tentang Lubang Hitam, tampaknya hal itu suatu yang nihil untuk diselidiki (karena itu ia disebut lubang hitam, karena tiada apapun yang terlihat di dalamnya). Sebab, dengan mengandalkan kerangka Relativitas Umum dari Einstein, berarti apapun yang melintasi di cakrawala peristiwa (penyebutan untuk batas lubang hitam) akan terserap ke dalam gravitas kuatnya, tanpa lepas lagi. Hingga tidak ada secuil informasi pun yang dapat keluar darinya. Maka apa yang mungkin anda hayalkan tentang lubang hitam?

Namun setelah Hawking tersadar dengan kehadiran hukum Mekanika Kuantum, ia kemudian mengkombinasikannya dengan Relativitas Umum. Dari sini ia mengubah pendapatnya, bahwa mungkin untuk memperoleh informasi dari lubang hitam, namun kemungkinannya sangat kecil. Jika ada informasi yang dapat ditangkap maka tak lagi dapat terbaca oleh kita. Itu mungkin saat radiasi yang dipancarkan oleh sepasang partikel-anti dalam posisi masih separuh tertelan. Sehingga radiasi elektromagnetiknya dapat mencuri secuil energi dalam lubang hitam.

Kemungkinan kecil informasi dapat bocor dari lubang hitam ini dari perhitungan Hawking dalam memanfaatkan teori Hubungan Ketidakpastian dari Warner Heisenberg, juga gagasan Probabilitas Sejarah dari Richard Feinman. Lalu, dengan ‘mengunyah’ perhitungan algoritma yang tidak biasa, dengan detil yang rumit, ia membuka kemungkinan itu, mencuri informasi dari lubang hitam betapapun kecil volume rembesannya.

Hawking sendiri seperti bercanda saat mencontohkan pendapat barunya itu. Kira-kira seperti buku yang berisi informasi, lalu terbakar, dan masih tetap ada informasi yang tersisa, yaitu asap dan abu dari buku itu. Tentu saja saya pun ikut merasa kecele dengan pengandaian ini, mengenai apa lagi kira-kira yang tersisa, demi kita dapat mengerti dari informasi dalam buku itu, dengan membaca dari asap dan abunya?

Baca Juga:  Susahkah Menjadi Agen Intelijen?

Paradoks informasi dari lubang hitam telah meciptakan ruang baru bagi para ilmuan generasi berikutnya dalam memecahkan persoalan ini, hal yang belum dituntaskan jawabannya oleh Hawking sendiri. Bagaimanapun, tugas saintis adalah mendemistifikasi rahasia semesta, sejauh probabilitas pengembangan metode pendekatan bidang sains untuk mengejarnya.  Dan dinamika perkembangan seperti ini lah yang saya hubungkan dengan identitas pokok sains ilmiah, yaitu soal “probabilitas.” Dimana, koridor perkembangannya tidak selalu paraler. Terkadang ada titik-titik balik ataupun pergeseran-pergeseran asumsi dasar yang revolusioner dalam rentang perkembangannya. Sangat memukau, memberi manfaat begitu besar bagi ‘batu bata’ pembangun peradaban manusia, namun juga diselubungi oleh ketidakpastian. Itulah identitas espistemik dari pengetahuan saintifik.

Gugatan Premis Teologis Hawking
Mainstro teori Black Holes seperti Hawking mengajukan tesis-tesis saintifiknya, seperti yang telah saya singgung sebelumnya, adalah dalam rangka mendemitologisasi persepsi kita tentang jagat raya dan fenomenanya. Ia bekerja dengan kerangka ilmiah yang terverifikasi jelas dan pendayagunaan algoritma logis dalam menafsirkan fakta-fakta objektif alam semesta.

Ketika anda ingin menggugat kesimpulan-kesimpulan Hawking seputar isu Lubang Hitam, maka anda perlu membuktikan ada kesalahan atau ketidaktepatan instrumen-instrumen ilmiah darinya dalam mendekati dan mengungkap masalah yang berkaitan dengan itu. Jika tidak, maka meminjam istilah “diam itu emas” adalah tepat untuk menjelaskan tentang bagaimana kita harusnya bersikap dalam kondisi tersebut.

Begitu juga dengan ketakbersetujuan kita terhadap isu-isu yang melampau ranah sains yang dikemukakan Hawking. Ketika saya menggugat Hawking terkait kesimpulannya atas hal-hal yang melampau bidang ilmiah dalam penelaahannya, itu sesungguhnya saya menggugat kerangka pengetahuan dan metode sandaranya sebagai subjek yang tidak kompatibel menjangkau objek sebagai target untuk diketahui.

Mari kita meninjau Hawking di sisi pernyataaannya bahwa “Tuhan tidak ada”, “surga dan neraka tidak ada” dan “tiada kebangkitan setelah kematian hingga kehidupan memang sia-sia.” Itu semua merupakan kesimpulan-kesimpulan yang tak dapat disandarkan pada metode ilmiah. Sebab, sains dalam kongklusi-kongklusi induktifnya tidak dapat melampau batas petunjuk observasi ataupun eksperimen. Kita dapat toleran menerimanya, ketika pernyataan-pernyataan tersebut hanya berupa pengakuan dari bentuk keyakinan subjektif Hawking sendiri, yang walaupun terkonstruk dari paradigmanya tentang realitas. Tetapi, jika itu adalah untuk mengemukakan kesimpulan hasil pengungkapan kerja ilmiahnya, maka ia perlu mendapat respon kritis.

Ada dua kondisi kelayakan bagi Hawking memiliki hak untuk menyatakan statemen-statemen tersebut; Pertama, statemennya itu harus dianggap hanya sebagai ekspresi keyakinan (pilihan) subjektifnya, dimana hal itu sebatas kepercayaan belaka. Kedua, mendudukkannya sebagai kesimpulan-kesimpulan reflektif dari upaya penalarannya atas realitas. Posisi pertama tidak memiliki tempat bagi kita untuk masuk pada evaluasi aksiologi, untuk menilai benar dan salahnya. Dan ruang evaluasi bagi proposisi-proposisi isu teologis dari Hawking, dapat kita tegaskan disini, sesungguhnya ada pada posisi kedua.

Statement-statemen Hawking itu harus dihadapkan pada kerangka metode penalaran metafisika, yang sejatinya merupakan bidang filsafat. Bagaimanapun, pelekatan nilai aksiologis dalam kerangka metafisik memiliki keabsahan (dalam masalah ini) dikarenakan ia menjangkau bidang realitas melampaui modus eksistensi materi. Sedang sains ilmiah, dengan kerangka metodeloginya secara ketat hanya menjangkau fenomena materi.

Kesimpulan awal kita, jika proposisi-proposisi teologis Hawking disandarkannya pada premis-premis sains ilmiah, maka sang mainstro astrofisika itu, dalam hal ini, dapat dikatakan ‘salah kamar’.

The Grand Design
Merujuk pada bukunya yang ditulis bersama Leonard Mlodinow berjudul “The Grand Design”, Stephen Hawking menyebut tatanan hukum fisika bukanlah bersumber dari kehendak Tuhan. Ia mengembalikan tatanan gerak perkembangan semesta serta soal bagaimana kehidupan di bumi muncul kepada teorinya tentang proses awal terbentuknya alam semesta, yaitu saat terjadinya ledakan besar, atau yang dikenal dengan teori “Big Bang”.

Bagi Hawking, semua ke-ada-an dalam tiga dimensi waktu nyata, bermula dari peristiwa Big Bang. Meskipun ia menyetujui dimensi “waktu imajiner” dari teori mekanika quantum. Bahkan ia membela teori tersebut dari tuduhan sebagai “fiksi ilmiah,” serta menyebut itu “teori ilmiah faktual.” Namun ia segera memberi catatan kritis mengenai kerangka analisis waktu imajiner, bahwa menggunakannya untuk memprediksi keadaan sebelum peristiwa Big Bang tidak lah tepat. Ia berargumen, tiada sesuatu pun disana (sebelum Big Bang) yg dapat disentuh oleh tindak observasi.

Baca Juga:  Bahaya Stunting Bagi Tumbuh Kembang Anak

Maksud “ketiadaan” yang dipahami Hawking, dan juga umumnya fisikawan, adalah kevakuman dari materi quantum. Inti yang dimaksud oleh Hawking adalah materi alam semesta menciptakan (mewujudkan) dirinya sendiri dari ketiadaan dengan proses hukum fisika. Karena itu, dia menantang keyakinan theisme dari hasil penyelidikan sains fisikanya dengan implikasi pertanyaan di antara dua pilihan jawaban ekslusif: “meyakini Tuhan ataukah hukum fisika?”

Kerancuan Ide Hawking dalam Grand Design
Untuk menjawab isu di atas, kita patut segera mengidentifikasi adanya masalah tatanan hukum penalaran logis dalam cara Hawking berpikir. Cara dia menyusun premis-premis bagi kesimpulan dalam hal yang di luar simetri sains tidak mengikuti aturan dasar analisis logis terhadap konsep-konsep. Hal paling utama yang membuat ia terperosok dalam kontradiksi dan kerancuan (falasi) penalaran adalah penolakannya pada keberadaan dan kegunaan disiplin pengetahuan “filsafat”.

Hawking berada pada titik ekstrim yang menyebut “Filsafat sudah mati. Karena tidak mengikuti perkembangan modern dalam sains, khususnya dalam fisika. Baginya, hanya kerangka kerja saintifik saja yang dapat meyakinkannya pada pengungkapan realitas. Dengan demikian, ia pun meyakini bahwa para ilmuwan telah menjadi pembawa obor penemuan dalam pencarian kita akan pengetahuan”.

Harus diakui kecerdasan Hawking yang tidak biasa dalam penguasaan prinsip-prinsip pokok dan detil-detil paling rumit dalam ranah fisika kosmik. Namun disayangkan, Hawking terjatuh justru dalam kekacauan epistemik dasar, terkait basis tatanan analisis logis ketika ia menghadapkan kita pada pilihan “Tuhan ataukah hukum fisika.” Hawking sendiri menolak mengakui eksistensi Tuhan, dan memilih meyakini hukum fisika lah yang menguasai tatanan jagat raya, baik dari sisi keterciptaan dan keberlanjutan, maupun menuju titik kemusnahannya.

Sekarang mari kita buktikan kerancuan logis yang menjerat Hawking. Mengandaikan bahwa semesta tercipta dengan sendirinya dari ketiadaan, itu mengandung kerancuan logis. Analisis prinsip identitas logis menunjukkan hal berikut ini:

Jika Y adalah sebab bagi keberadaan X, maka Y ada pada posisi pertama untuk mengantarkan keberadaan X. Artinya keberadaan X bergantung pada adanya Y sebagai pendahuluan dalam matarantai sebab-akibat. Tapi, ketika saya mengatakan X merupakan sebab bagi eksistensinya sendiri, maka saya harus mengandaikan X ada terlebih dahulu untuk bisa mewujudkan dirinya sendiri. Lalu, dari mana modal mutlak (niscaya) X yang mendahului proses penciptaannya sendiri?  Disinilah ketidak koherensi yang terjadi. Sehingga mengandung apa yang kita sebut dengan istilah “kerancuan logis”.

Kemudian, terkait dengan pilihan antara Tuhan dan hukum fisika, Hawking tampak gagal memahami hakikat dan katagori konsep-konsep. Sebab, Tidak ada keharusan logis untuk terjadinya relasi saling negasi antara gagasan tentang “Tuhan” dengan “hukum fisika”.  Sebagai suatu hukum, alam semesta dipahami eksistensi dan fenomenanya dengan prinsip-prinsip kerja hukum fisika. Namun, apakah hukum itu berlangsung tanpa grand design dari sesuatu yang melampauinya.

Sebelum kita masuk pada analisis filosofis yang lebih rumit, yang akan saya coba kupas pada tulisan tersendiri di kesempatan lain nantinya, sekarang mari kita ambil suat contoh pendekatan pemahaman, dengan membayangkan sebuah arloji yang bekerja mengikuti hukum fisika. Pertanyaan utamanya, apakah arloji itu terbentuk dengan sendirinya, tanpa suatu subjek yang berkehendak (pelaku yang memiliki motif dan tujuan) untuk membuat suatu rancangan-rekayasa atasnya, sehingga hukum fisika itu menghasilkan rangkaian gerak sebagai sebuah arloji dengan seluruh fungsi yang diinginkan siperancang.

Jadi, dengan menyaksikan fenomena hukum fisika bekerja pada sebuah arloji, tentu kita tidak serta-merta dapat mengatakan suatu ledakan fisika terjadi, dan tercipta lah arloji tersebut secara tiba-tiba. Pikiran kausalitas kita secara kritis pasti menyemburkan pertanyaan tentang siapa yang telah membuatnya dengan keadaan yang demikian, dan seterusnya. Walau kita tetao tidak dapat menyangkal bahwa hakikat gerak bagi keberlangsungan wujud dan fungsi arloji, hukumnya terdeskripsi secara matematis, yang disebut dengan istilah “hukum fisika”.[]

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Tunggu Sedang Loading...