Take a fresh look at your lifestyle.

Gatot, Gaduh, Gebuk, dan Gerbong

Oleh: Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad
Antropolog dan Dosen UIN Ar-Raniry, Kopelma Banda Aceh.

Dalam artikel ini, saya tertarik untuk mengulas tentang peristiwa yang terjadi baru-baru ini menjelang peringatan G 30 S PKI. Sebelum peristiwa ini diulas, saya akan bagi dua pengalaman penting, menyangkut dengan masalah hantu PKI atau Komunisme di Indonesia.

Ketika Presiden Jokowi baru dilantik pada Oktober 2014, isu komunis memang selalu muncul. Saat itu, beberapa bulan menjelang Presiden Jokowi membaca teks Pidato Tahunan pada bulan Agustus 2015, saya ditelpon oleh seorang sahabat, yang katanya teks pidato presiden sedang dipersiapkan. Karena itu, perlu masukan, apakah Presiden Jokowi perlu meminta maaf kepada PKI. Konon, katanya masukan akan dipertimbangkan untuk memahami sirkulasi politik nasional saat itu.

Saya hanya menjawab sebagai seorang akademisi, dengan memberikan analisa, mulai dari tingkat terendah (baca: keluarga) hingga level global, jika Presiden harus meminta maaf kepada PKI. Tentu saja, saya tidak akan menyajikan di sini, apa komentar saya kepada penelpon, mengingat persoalan komunisme, agak susah diumbar ke publik, terlebih lagi, jika saya harus memberikan komentar yang bersifat strategis dan ideologis kepada bangsa ini, yang sedang berputar haluan, dari serba Amerika ke serba Cina. Intinya, ketika membaca Teks Pidato Presiden RI bulan Agustus 2015, tidak ada perkataan maaf untuk PKI.

Pengalaman kedua adalah ketika menjelang Pilpres 2019, saya diundang oleh salah satu NGO ke Bogor, untuk memberikan masukan arah dan tujuan lembaga NGO dalam pentas global. Hal ini juga bersamaan dengan agenda saya diundang ke rumah salah satu duta besar di Jakarta. Namun, sebelum dua momen ini, setiba di Bogor, saya mendapat kabar, bahwa ada seorang karib yang hendak berjumpa dengan saya. Dia berdomisili di Jakarta. Karib ini mengatakan bahwa sangat perlu bagi dia untuk berjumpa dengan saya, karena ada hal yang ingin disampaikan.

Saya pun tidak bisa menolak keinginannya untuk bersilaturrahmi. Sore hari, mobilnya merapat ke hotel saya di Bogor. Dia mencari tempat yang nyaman dan tidak mengundang perhatian. Kami duduk di salah satu sudut restoran di hotel saya tempat menginap. Dia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian setelah bertanya kabar, lalu dia pun mulai bercerita.

Dia baru saja dimarahi oleh salah seorang purnawirawan yang sangat berpengaruh di negeri ini. Dia dibentak. Dan, sang Purnawirawan tidak suka dengan aktifitasnya yang mengkampanyekan bahaya laten Komunisme. Perihal kemarahan sang Purnawirawan rupanya diketahui oleh beberapa Purnawirawan lainnya. Intinya, kampanye anti Komunisme harus distop.

Baca Juga:  Andai Sabang Seperti Hawaii

Padahal, data dan fakta adanya kebangkitan komunisme sudah ada di depan mata. Dia berkeliling Indonesia, untuk memaparkan  gaya baru komunis di Indonesia. Intinya, Sang Purnawirawan tidak mau diganggu dan tidak mau menganggu iklim investasi yang sedang terjadi Indonesia dari pihak Cina.

Lebih dari 1 jam dia mencurahkan semua keluh kesah, dampak, dan pengalaman setelah dia berjumpa dengan Sang Purnawirawan. Karena belum pernah dia dibentak sedemikian rupa. Setelah kemarahan sang Purnawirawan, aktifitas kampanye bahaya Komunisme lenyap di Republik ini. Data dan fakta tentang Gaya Baru Komunisme di Indonesia tidak lagi dijumpai di kalangan aparat keamanan yang bertugas untuk mengamati hal-hal yang berbau strategis. Alhasil, isu komunis meredam dan lenyap. Adapun isu khilafah sebaliknya semakin mencuat.

Sejak saat itulah, saya mulai mengamati, diskusi tentang bahaya laten komunis di Indonesia jarang sekali dilakukan secara massif. Baru setelah beredar video Jenderal (Purnawirawan) Gatot N. Ziarah ke TMP beredar, isu bahaya komunis mencuat lagi. Diskusi di beberapa media muncul lagi. Adu argumen dan sentimen pun tidak dapat dielakkan.

Namun, kondisi ini dianggap sebagai keadaan yang membuat gaduh di republik ini. Istilah gaduh memang menarik untuk dicermati. Hal-hal yang mengganggu suatu pekerjaan terkadang dianggap sebagai gaduh. Dalam bahasa Aceh, saya sering menyebutkan dengan istilah GBS (Gabuk Sidroe) atau sibuk sendiri. Bahkan, ada analisa bahwa sosok Gatot bisa menganggu stabilitas politik di republik ini. Saya tidak kenal Gatot.

Namun, setelah saya mendengar keluh kesah karib saya yang dimarahi oleh Sang Purnawirawan, kami berdiskusi panjang tentang situasi republik ini. Hingga tanpa terasa, hampir dua jam pertemuan harus diakhiri, karena dia harus kembali ke Jakarta. Keesokan harinya, saya diundang ke salah satu rumah duta besar di Jakarta. Setelah memberikan presentasi terhadap teman-teman NGO, saya naik kereta api menuju Jakarta. Sesampai di salah satu stasiun, lantas naik onjek online untuk menuju ke rumah Duta Besar. Setelah selesai melewati protokol keamanan, saya dipersilahkan masuk ke ruang tamu, rumah dinas duta besar tersebut.

Di situ, rupayanya sudah ada tokoh-tokoh yang diundang secara khusus pula. Sambil berbasa-basi, Pak Duta Besar mencairkan suasana. Satu persatu diminta untuk memperkenalkan diri. Lalu diskusi pun dimulai, inti dari pertanyaan dari Pak Duta Besar adalah memprediksi Pilpres dan pengaruhnya bagi kestabilan kawasan. Di situ, saya hanya menyebutkan bahwa Pak Prabowo akan menang di beberapa provinsi di Sumatera, dengan sebab isu agama dan etnik.

Baca Juga:  Awal Perkenalan Isaiah Berlin dengan Giambattista Vico

Saat itu, Pak Prabowo memang seakan-akan benar-benar berhadapan dengan Pak Jokowi. Beberapa analisa saya terbukti kemudian tentang Pilpres. Setelah berdiskusi panjang dengan Pak Duta Besar, saya kembali ke Bogor.

Pertemuan itu menyiratkan suatu pertanyaan besar yaitu what if …? (bagaimana jika…?) yang menjadi perhatian para diplomat asing tentang keadaan politik gerbong di Indonesia.

Bagaimana pemerintah mengendalikan kekuasaannya. Bagaimana “Orang Kuat” menghancurkan lawan-lawan politiknya?

Bagaimana seseorang bisa dikriminalisasikan dengan logika-logika sederhana?

Semua pertanyaan ini rupa menjadi penting untuk melihat isi kepala para “Orang Kuat.” Ternyata mereka dimonitor oleh pihak asing, apa yang mereka ucapkan. Kadar emosi, mimik wajah, teks pidato, gaya berdebat, cara menatap. Karena itu, proses analisa keadaan “what if …?” Ini tidak kemudian menghasilkan suatu analisa yang tidak mendalam.

Karena itu, ketika saya menghubungkan Gatot dengan ‘gaduh’ kemudian ‘gebuk (sibuk)’, karena beda ‘gerbong.’ Maka kemarahan Sang Purnawirawan ini dapat dimengerti. Dia ingin republik dikelola tanpa ada gangguan dari orang yang mengerti dapur republik ini. Dia hanya ingin rakyat melihat etalase pembangunan, bukan dapur dan bumbu-bumbu untuk membangun republik, yang terkadang jauh dari pengamatan dan pengetahuan publik. Anda tidak dapat kue kekuasaan, karena anda beda gerbong dengan kami.

Dan, itu sangat wajar sekali. Anda dicap pembuat gaduh, karena anda memunculkan isu dan isi yang tidak disukai oleh “tukang masak” di dapur republik ini. Akibatnya, anda akan digebuk secara tertalu-talu.

Akibatnya, pertukaran rezim sebenarnya bukan menukar kepala pemerintahan dan sosok di belakang dan disampingnya, tetapi bertukarnya “juru masak” di dapur republik. Anda dipaksa menikmati makanan dan tidak boleh protes bagaimana “cara memasak” di dapur.

Karena itu gaya bahasa, seolah-olah paling berbakti kepada negeri ini menjadi jargon. Baru-baru ini, ada yang menggugat, apa yang kau berikan kepada negeri ini. Walaupun, dapat juga diubah apa yang kau dapatkan dari negeri ini, untuk keluargamu, anakmu, kerabatmu, sejawatmu, angkatanmu, kawan seimanmu, dan perusahaanmu. Sepertinya, ketimbang anda memberi, tampaknya anda lebih banyak menerima dari negeri ini.

Inilah yang disebut dengan perubahan dari “politik aliran” ke “politik gerbong.” Beda gerbong, anda akan dikotakkan, jika bukan dimusnahkan, karena sedang mengganggu “mereka yang sedang berbakti ke negeri ini.”

Dewasa ini, jika ada pandangan yang berbeda dan membuat gaduh, maka akan dicap macam-macam. Pola ini sebenarnya persis seperti yang tergambar dalam buku Hidden Hand: Exposing How the Chinese Communist Party is Reshaping the World, kaya Clive Hamilton dan Mareike Ohlberg.

Baca Juga:  Rusia dan Cina Gantikan Peran AS; Joe Biden Bisa Apa?

Dalam buku ini, diungkapkan bagaimana permainan bahasa-bahan simbolik untuk menekan lawan. Tentu persoalan komunis dan iklim investasi menjadi “bumbu” masakan di dapur republik yang harus disesuaikan dengan “adonan tepung” untuk membuat “roti kekuasaan” semakin enak untuk dinikmati oleh rakyat.

Keesokan harinya, sebelum berangkat pulang ke Aceh, saya diundang minum kopi oleh salah seorang Jenderal pada salah satu kesatuan TNI, di kawasan Blok M. Sekali lagi, kami berdiskui santai masalah republik ini. Beberapa isi dan isu, mungkin tidak elok saya jabarkan disini.

Intinya, persoalan politik kerap menjadi persoalan pesekutuan dan perselisihan di antara mereka yang akan masuk ke dalam gerbong  kekuasaan.

Saling sikat dan sikut adalah hal yang biasa, kendati ketika bertemu biasanya akan cipika dan cipiki. Pertemanan secara artifisial adalah hal yang selalu menjadi target untuk menggali dan mencari rekam jejak musuh, ketika sudah ada kue kekuasaan di depan mata.

Dalam beberapa tahun terakhir, saya kerap menerima keluhan beberapa perwira menengah dan tinggi, tentang bahasa laten komunisme. Namun, mereka tidak bisa bersuara di dalam kesatuan mereka. Tentu karir mereka akan terganggu jika terlalu kritis.

Mereka punya data di lapangan, karena hasil pengamatan intelijen jarang yang meleset. Namun semua hal tersebut, hanya sampai di tenggorokan mereka semata. Namun, semua hal ini lenyap, karena kegelisahan mereka, bukan kegundahan para petinggi republik ini.

Setelah minum kopi, dari Blok M, saya menyusuri kota Jakarta menuju bandara untuk pulang ke Banda Aceh. Seorang teman dekat, yang dekat dengan kekuasaan mengatakan pada saya, bahwa di Jakarta itu adalah tempat dengan orang “seribu wajah.”

Dia bahkan mengatakan seperti film Jurassic Park. Saling menerkam. Saling memantau. Saling Menghalau. Karena itu, saya dinasehatkan untuk tidak terlalu serius memikirkan apa yang terjadi di Jakarta. Bahkan guru saya pernah mengingat hal yang sama, bahwa persoalan di Jakarta, sudah ada yang mengurusnya.

Setelah sampai di Banda Aceh, saya kembali menjadi supir bagi anak-anak saya untuk berangkat ke sekolah. Membimbing mahasiswa. Menikmati ie phet di salah satu sudut jalan di Darussalam.

Saya melupakan apapun yang saya alami di Jakarta. Mungkin kita harus melihat kegaduhan di Jakarta dalam perspektif seperti “saling memantau,” “saling menghalau”, “saling menerkam,”  dan “saling menerkam.”

Mungkin pemandangannya memang seperti dalam film Jurassic Park. Mari kita ngopi!

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Tunggu Sedang Loading...