Take a fresh look at your lifestyle.

Dehumanisasi Pendidikan Aceh

“Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindas atau mungkin menindasnya.” (Paulo Freire, 1921-1997).

Sejumlah kasus “dehumanisasi” dalam dunia pendidikan Aceh terus terjadi. Misalnya pada suatu ketika Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Aceh di tampar oleh seorang pria di kantornya. Seorang dosen Unsyiah berinisial Doktor SM, menjadi tersangka dengan UU ITE, yang dilaporkan koleganya, dan terakhir “pagar” kampus di Darussalam.

Ini menjadi bukti, bahwa “pengurus” pendidikan di Aceh (Kopelma Darussalam), lebih mengedepankan pendekatan “hardware” daripada pendekatan “software”, dengan cara-cara “keacehan” dalam memanusiakan manusia Aceh. Slogan “Aceh Bangsa Teulebeh Ateuh Rung Donya” benar-benar menjadi lawak.

Dalam al-Quran gagasan yang paling canggih, komprehensif dan mendalam pembahasannya adalah mengenai konsep ”ilmu pengetahuan” (Munawar Ahmad, 1991:72). Tingkat kepentingannya berada di bawah pembahasan tauhid, yang merupakan tema sentral dalam pembahasan al-Quran.

Secara khusus, Al-Gazali juga menyebutkan bahwa pendidikan moralitas, harus lebih di utamakan dalam proses pembelajaran. Supaya menghasilkan peserta didik yang dapat membawa misi rahmatan lil `alamin, sebagai khalifah di muka bumi.

Pada tataran Eropa, dikenal nama Paulo Freire, dari Brazil. Ia seorang tokoh “Pendidikan Pembebasan” yang kontroversial karena mengugat sistem pendidikan yang mapan menurut sebagian orang.

Menurutnya, dehumanisasi diartikan sebagai sebuah hegemoni kaum tertentu untuk menindas kelompok sosial lainnya. Menindas dalam berbagai bentuk dan perilaku, menurut Freire adalah menafikan ide-ide tentang kemanusiaan.

Freire menyebutkan pendidikan dehumanisasi berlangsung dengan istilah “Gaya Bank”. Pendidikan gaya bank, memiliki ciri-ciri anti dialog, menindas yang lemah dengan cara intelektual dan kultural, dominasi penyelenggara pendidikan, membangun dikotomi dan lainnya. Ciri-ciri yang dipaparkan Freire adalah sebuah fakta dalam sistem pendidikan Aceh (kampus dan sekolah) dan Indonesia pada umumnya.

Denis Collins, (2011), menyebutkan bahwa proses pendidikan yang ideal, seharusnya berorientasi kepada nilai-nilai humanisme. Humanisme pendidikan yang digagas Freire, dalam banyak bukunya berupaya menjadikan sistem pendidikan, untuk menjadikan manusia menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat dari kondisi tertindas.

Baca Juga:  Mengakhiri Siklus Penindasan Di Dunia Pendidikan Indonesia

Sebelum lahirnya gagasan Paulo Freire tentang pendidikan pembebasan, dalam Islam telah lebih dahulu menempatkan semua derajat manusia sama, saling memanusiakan manusia lain, hanya ketakwaan yang membedakannya.

Sebagaimana Firman Allah QS Al Isra, ayat 70: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.

Dehumanisasi Pendidikan
Aceh sebagi satu-satunya wilayah di Indonesia yang memiliki Hari Pendidikan Daerah. Sekitar 60 tahun lalu, setiap 2 September, seluruh Bupati, dan seluruh warga sekolah dan Kampus Darussalam, ikut serta mengikuti upacara peringatan Hari Pendidikan Daerah (HARDIKDA), yang sudah berganti nama menjadi Hari Pendidikan Aceh (HPA). Sejarahnya muncul HPA adalah puncak dari kedatangan Presiden Soekarno ke Aceh pada tanggal 2 September 1959, paska perang DI/TII 1953.

Konsensus dari konflik DI/TII, lahirnya Kampus Darussalam sebagai pusat peradaban Aceh, dengan dibangun simbol perdamaian Aceh, yang terdiri dari Universitas Syiah Kuala, Universitas Islam Ar-Raniry dan Dayah Manyang Tgk Chik Pante Kulu. Ketiga lembaga pendidikan itu berada dalam satu komplek yang dinamakan Kota Pelajar Mahasiswa atau Kopelma Darussalam.

Soekarno menulis sebuah pesan bijak dalam sebuah prasasti, yang di pugar di Tugu Darussalam berbunyi “Tekad Bulat Melahirkan Perbuatan Nyata, Darussalam Menuju Pelaksanaan Cita-Cita”. Itulah legacy Seorkarno untuk Aceh, menjadikan Aceh dari darul harb (daerah perang) menjadi Darussalam (daerah damai).

Berdirinya Kampus Darussalam, bagian dari lagecy orang-orang Aceh secara umum waktu itu. Karena tokoh-tokoh Aceh waktu itu mengelola Kampus Darussalam sebagai ruang dan tempat, untuk memanusiakan peradaban orang Aceh paska perang. Hal ini, juga dilakukan paska MoU Helsinki, dalam bentuk pemberian beasiswa untuk anak-anak Aceh belajar di Eropa dan Timur Tengah. Paska perang, baik DII/TII maupun GAM, tetap menjadikan pendidikan sebagai ruang memanusiakan manusia Aceh. Tentu dengan segala dinamika yang melandasinya.

Baca Juga:  Politik Aceh Besar Menuju Pemilu 2024

Tapi dibalik upaya memanusiakan manusia Aceh paska perang. Sering sekali ketika memasuki fase damai, orang Aceh “berkelahi” sesamanya. Meninggalkan nilai-nilai historis yang dimilikinya. Tidak perlu jauh, lihat saja bagaimana perkembangan “kemelut sertifkat” kampus Unsyiah dan UIN Ar-Raniry. Sebagai outsider, kita malu mengikuti perkembangan Kampus Darussalam,  sebagai pusat peradaban Aceh. Karena mengalami kemelut, apa yang sekarang dikenal dengan “kemelut sertifikat” telah menyebabkan banyak orang mempertanyakan dan bahkan mengkritik paradigma tatakelola manajemen konflik tanpa pijakan pada nilai-nilai kekeluargaan.

”Kemelut sertifikat”, dan penamparan kepala dinas pendidikan menjadi bagian dari dehumanisasi pendidikan Aceh. Sekaligus menjadi kado ulang tahun Hari Pendidikan Aceh (HPA). Namun demikian, dehumanisasi Pendidikan Aceh sebagai sebuah pertanyaan. Tentu memerlukan jawaban kolektif untuk menuntaskannya.

Terlepas dari itu, terdapat beberapa fakta, proses dehumanisasi yang perlu perbaikan. Hal ini bisa dilihat pada revitalisasi SMK yang tidak berujung. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh mencatat bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) tertinggi di Aceh menurut pendidikan pada Agustus 2018, masih didominasi angkatan kerja yang memiliki kualifikasi pendidikan tertinggi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan persentase sebesar 10,72 persen. Ini jadi tidak manusiawi, karena desain SMK adalah untuk menjadi tenaga kerja muda.

Belum lagi, mutu lulusan sekolah SMA/SMK di Aceh tidak berdaya saing, jangankan untuk menembus perguruan tinggi negeri di provinsi lain, untuk tembus prodi favorit di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh sulit. Data tahun 2019, penerimaan calon mahasiswa baru melalui jalur SBMPTN di Universitas Syiah Kuala, khususnya prodi pendidikan dokter, prodi pendidikan dokter gigi, dan pendidikan dokter hewan, tingkat kelulusan calon mahasiswa asal non Aceh lebih tinggi daripada calon mahasiswa asal Aceh. Tentu ini harus diantisipasi dengan berbagai strategi.

Baca Juga:  Dua Muka

Begitu juga dengan implementasi kurikulum Islami Aceh belum menentu arahnya, banyak kepala sekolah di Aceh memimpin lebih dari 5 tahun tanpa penyegaran, fungsi pengawasan sekolah tidak jalan, pengaruh kebijakan nasional yang berubah-ubah, fasilitas pendidikan Aceh belum mengikuti semangat revolusi 4.0, dan tentu pola didik murid di sekolah tidak mendukung penguatan pengembangan karakter anak didik. Akhirnya berujung bukan saja pada dehumaniasi, tapi degradasi terstruktur.

Upaya meningkatkan mutu pendidikan, yang penuh dengan nilai-nilai moralitas, sudah sepantasnya dilakukan atas panggilan kesadaran. Bukan malah menjadi pelaku amoral.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui lembaga UNESCO (United Nations, Educational, Scientific and Cultural Organization) yang bergerak dibidang pendidikan, pengetahuan dan budaya. Fokus pada  upaya meningkatkan kualitas suatu bangsa dapat dilakukan melalui peningkatan mutu pendidikan, yang dikenal dengan istilah 4 pilar pendidikan, yakni  (1) learning to Know, (2) learning to do (3) learning to be, dan (4) learning to live together. Untuk Aceh, harus dilakukan secara integratif dengan basis nilai-nilai kultural sejarah masyarakat yang kosmopolit.

Kembali seperti yang dikatakan Freire diatas, bahwa “Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindas atau mungkin menindasnya”.

Untuk itu, perlu perwujudkan melahirkan individu-individu yang mampu membebaskan dirinya dari penindasan yang di kontruksikan oleh kalangan atas. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat keterpaduan dimensi kognitif, affektif dan psikomotor serta keterpaduan nilai-nilai sejarah masyarakat Aceh. Supaya Aceh memiliki insan yang memiliki intelektual, moralitas dan relegiusitas sekaligus. Dengan begitu, dehumanisasi pendidikan Aceh dapat diatasi.

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Tunggu Sedang Loading...