Take a fresh look at your lifestyle.

Dari Penjara Keudah ke Pasar Minggu

Oleh: Murizal Hamzah
Wartawan dan Penulis Buku Biografi Hasan Tiro Jalan Panjang Menuju Damai Aceh.

Saya tidak ingat jam, hari, tanggal, dan tahun  pasti melangkah kaki  ke penjara Keudah Banda Aceh.  Pada mulanya, saya pergi sendiri atau diajak oleh sahabat. Yang jelas saat itu, kepada sipir disebut kami dari Remaja Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.

Untuk menghapus keraguan, saya bertanya kepada guru jurnalistik saya, yakni  Pak Basri Abu Bakar yang  pernah Ketua Umum Remaja Masjid Raya Baiturrahman. Apa katanya?

“Ya benar, kita kunjung atas nama  Remaja Masjid Raya. Petugas sipir menanyakan tujuan kunjungan, dari lembaga mana dan sebagainya. Kita bawa kopi untuk diminum bersama. Bertemu Pak Nurdin AR, Teungku Adnan Beuransyah, Abdullah Kuta Alam Taylor, Mulkan, dan lain-lain. Tidak ingat siapa saja waktu itu yang ikut ke penjara,” ungkap Dr. Ir. H. Basri A. Bakar, M.Si kepada saya pada 19 Juni 2020.

Memori tentang rumoh glap  Keudah – sebutan penjara dalam bahasa Aceh –  bentuk ruangan Pak Nurdin AR memajang kira-kira seluas lapangan bola voli.  Mungkin lebih langsing lagi. Di pojok ruang itu  ada kakus yang ditutup dengan triplek setinggi 1 meter, satu ember dan satu gayung. Saya menduga ke Keudah itu sekitar 1992-1995.

“Saya perkirakan kunjungan itu seitar tahun 1992-1997 karena  pada 1997 saya S2 ke IPB,”  ucap Basri.

Saya menimpali pada 1996, saya mulai kerja kontrak di Humas PT Arun hingga 2000. Jadi diperkirakan kunjungan berulang kali itu terjadi pada 1992-1995.

Saya menyaksikan ada puluhan narapidana politik (napol) di Keudah Banda Aceh. Deretan kasur tipis digulung kecil beralas beton setinggi sekitar 1 meter  dari lantai. Di kolong itu, juga terhampas kasur tipir. Atas bawah untuk merebahkan badan.

Ada beberapa penghuni yang saya kenal seperti Pak Hasbi Abdullah, Teungku Adnan Beuransyah, Pak Nurdin AR,  dan lain-lain. Ada nama lain yang tergiang-giang yakni Teungku Armiyah lulusan Timur Tengah. Mereka menjalani hukuman karena subversif melawan negara (separatis) dengan rata-rata hukuman di atas 10 tahun.

Bahasa halusnya,  mereka adalah napol yang menurut pemerintah disebut Gerombolan Pengacauan Keamanan (GPK) Aceh.  Versi tapol, mereka ini adalah anggota Atjeh Merdeka. (AM). Masa itu, belum ada lakap Gerakan Aceh  Merdeka (GAM). Sebelumnya, anggota AM ditahan di penjara Lhoknga Aceh Besar. Sebelum disidangkan, mereka diperiksa dengan kekerasan di Laksus Lampineung Banda Aceh.  Saya mengikuti persidangan ini di Banda Aceh atau sekitar 500 meter dari hotel prodeo Keudah.

Dalam ingatan saya, paling kurang tiga kali  ke Keudah. Saya ke sana sebagai pengurus Remaja Masjid Raya Baiturrahman. Dalam kunjungan pertama, saya tanya apa yang dibutuhkan di sini. Mereka menjawab perlu Quran.  Pengurus Masjid Raya baiturrahman mewakafkan Quran ke Keudah.

Dalam kunjungan kedua,  saya membawa Quran datang dengan becak mesin pada sore.  Ada sedikit kata sambutan dari sipil, perwakilan tapol dan lain-lain. Menjelang magrib, saya antre berwudhu di sumur bersama tahanan lain. Tiba-tiba seorang  sipir meminta saya langsung maju berwudhu.  Sembahyang magrib di mushalla lantai 2 yang luasnya kira-kira setengah lapangan bola voli.

Baca Juga:  Politik Aceh Besar Menuju Pemilu 2024

Nah pada tsunami 2004,  Juru Bicara Propaganda GAM Irwandi Yusuf kabur ke lantai 2 mushalla dan menjebol langit-langit menuju atap mushalla. Irwandi menyebutkan kapasitas penjara ini sekitar 200 napi. Di Mushalla inilah dengan izin Allah Swt, Irwandi  selamat dari gempuran gelombang maha dahsyat. Ada media yang memberitakan bahwa Irwandi kabur dari penjara. Tentu saja ini dibantahnya.

“Tidak benar saya kabur dari penjara. Namun penjara yang kabur dari saya,” jelas Irwandi pada 2005. Tembok derita penjara Keudah ambruk digasak gelombang tsunami dari sisi samping dan belakang.

Kunjungan ketiga, kepada petugas sipir, saya sebutkan ingin bertemu Teungku Adnan Beuransyah sambil menyerahkan KTP. Saya menunggu di ruang tunggu. Teungku Adnan Beuransyah meminta bantu saya menghubungi Gubernur Aceh Prof Syamsuddin Mahmud, Imam Besar Masjid Raya Baitutrrahman Teungku Soufyan Hamzah dan tokoh lain sudi kiranya membeli kaligrafi karyanya. Itu semua terjadi di era 1990-an.  Selesai pertemuan, Teungku Adnan Beuransyah masuk ke pos sipir menyelipkan sesuatu di meja. Mungkin itu biaya memanggil tahanan yang di blok-blok.

“Setelah dua bulan kemudian, Teungku Adnan Beuransah meminta adiknya mengantar kaligrafi yang sudah dibingkai. Dia menulis surat ke saya untuk bantu beli. Saya serahkan Rp 250.000  yang kala  itu seharga 1 manyam emas, kaligrafi itu sampai sekarang masih tergantung di dinding rumah kami,” ungkap penulis tetap di Tabloid Gema Baiturrahman Banda Aceh.

Entah dari mana saya memiliki keberanian membezuk tapol Aceh di era Darurat Operasi Militer  (DOM) yang tentu saja menjadi catatan petugas sipir penjara. Kala itu, berhubungan dengan orang yang dituduh GPK sangat rawan. Memberikan sebatang rokok kepada warga yang ternyata anggota GPK, maka kita bisa ikut terseret  mendukung GPK.

Saya mengamati napol dan tahanan tetap bekerja di balik terali besi seperti merajut jala. Sementara Pak Nurdin AR menyelesaikan terjemahan-terjemahan bahasa Inggris yang ditulis dengan tulisan tangan.

Suatu waktu,  saya menyaksikan Pak Nurdin AR  membawa setumpuk terjemahan bahasa Inggris yang ditulis di kertas double folio ke ruang tunggu. Tidak diragukan lagi, bahasa Inggris Pak Nurdin AR sangat excellent dalam menerjamahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dan sebaliknya.

“Ketika Pak Hasbi jadi Ketua DPR Aceh atau Pak Nurdin AR jadi Bupati Bireuen, mereka masih ingat dan terharu karena ingat atas keberanian  kita membezuknya pada masa konflik DOM,” papar Basri.

Baca Juga:  Chelsea, Frank Lampard, dan Aceh

Tahun berapa penjara Keudah ini dibangun? Dalam kenangan saya di pintu masuk penjara, ada tahun yang dipahatkan di dinding sebelah kanan. Yang jelas, penjara ini warisan kolonial belanda.  mungkin dibangun  sebelum  1900-an.

Di sebelah penjara ada rumah dinas yang ditempati Prof. Christiaan Snouck Hurgronje (8 Februari 1857-26 Juni 1936)  yang  melakukan riset tentang rakyat Aceh. Saban hari  selama 1891-1892, Tuan Seunot-sebutan rakyat Aceh kepada Snouck – mewawancara ratusan tahanan pejuang Aceh  untuk mengetahui rahasia rakyat Aceh bertempur. Gempa berkekuatan 9,2 SR dan gulungan smong (tsunami) pada Ahad, 26 Desember 2004 melumatkan dinding dan blok-blok penjara menjadi rata kecuali mushalla.

“Di sini dulu Pak Nurdin AR tidur,” demikian kata Ezki Tri Rezeki Widianti menunjuk kamarnya kepada saya  di Jakarta, 2007.   Sementara Ezki pindah  ke kamar lain. Ibu  Ade – mamanya Ezki –  menerima Pak Nurdin di rumahnya di Kayu Manis, Matraman Jakarta. Saya kaget dengar info ini.

Pasca reformasi pada Mei 1998,   warga Aceh  dan berbagai ormas mengadakan demo  meminta tapol Aceh dibebaskan.  Mauizah istri Hasbi Abdullah  mengirim surat kepada

Kepada Presiden BJ Habibie melalui Menteri Kehakiman pada 8 Juni 1998, yang meminta suaminya Hasbi Abdullah yang divonis  17 tahun penjara dan tapol lain dibebaskan.

Habibie mengeluarkan kebijakan membebaskan 40 tapol Aceh. Keppres 131/1999 perihal pemberian rehabilitasi kepada puluhan tapol Aceh pada 13 Oktober 1999. Habibie menyatakan  setelah mempertimbangkan pendapat dan saran Menteri Kehakiman, Ketua Mahkamah Agung dan Jaksa Agung sesuai pula dengan pertimbangan tersebut di atas, dipandang perlu untuk merehabilitasi nama baik semua tapol Aceh. Serta mengingat: Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945. Dengan pemberian rehabilitasi, maka nama baik dan kehormatannya kembali ke keadaan dan kedudukan semula. Pelaksanaan Keputusan Presiden ini dilakukan oleh Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung.

Awalnya tapol Aceh mulai diadili sidang perdana pada Maret 1991. Mereka rata-rata ditangkap pada 1990. Demikian saya kutip dari Majalah Tempo edisi Maret 1991. Mereka yang diadili di Pengadilan Negeri Banda Aceh antara lain  Mulkan Usman (38 tahun), Ridwan Ibbas (31 tahun)  atau di  Pengadilan Negeri Lhoknga, 15 km dari Banda Aceh seperti T.M. Said (45 tahun).  Mereka oleh jaksa dikenai tuduhan subversi.

Baca Juga:  Komersialisasi Sesalehan dan Otokritik Untuk Mahasiswa

“Mereka mau mendirikan negara sendiri, Negara Islam Aceh, dari Sabang sampai ke perbatasan Langkat-Aceh,” kata M. Adenan, Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh.

Hasbi adalah dosen lulusan Fakultas Ekonomi Unsyiah  yang juga tamatan  S-2 Unpad, Bandung. Ridwan Ibbas, Kepala Lab Pengawasan Mutu.  Mulkan Usman pelukis yang juga memegang lisensi keagenan untuk motor Honda. T.M. Said anggota DPRD Aceh Besar dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan.  Drs. Adnan Beuransyah (31 tahun)  dosen IAIN Ar-Raniry. Drs. Nurdin AR (42 tahun) dosen bahasa Inggris di FKIP Unsyiah. Kemudian Amirsyah, S.H. (34 tahun), pegawai di Kanwil Kehakiman Aceh; Drs. Teungku Effendi guru mengaji,  Marwan, S.H., pengusaha bengkel; dan Hasyar Rabsyah, karyawan Kantor Niaga Aceh.

“Mereka tak bersenjata. Tapi merupakan otak yang merencanakan gerakan pengacauan,” kata Adenan.

Bagi Mulkan itu bukan pengalaman pertama masuk rumoh glap. Pada 1977, dia  divonis 3 tahun karena mengibarkan bendera  Atjeh Merdeka di beberapa tempat, di antaranya di halaman SMAN I Banda Aceh, SD di pinggiran kota.

Pasca bebas, Pak Nurdin AR diungsingkan ke Jakarta untuk keamanan. Di luar dugaan, Pak Nurdin AR memakai kamar Ezki  yang kemudian jadi istri saya. Di Jakarta kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini menolak Salib yang tergantung di dinding diturunkan untuk menghormati dirinya.

“Tidak perlu Salib diturunkan. Itu tidak akan meruntuhkan iman saya,” pinta Pak Nurdin AR

Apa saja kerja Pak Nurdin AR selama mengungsi ke Jakarta? Seorang ojek dengan setia mengantar setiap pagi mengantar alumnus Short Course in Language Teaching Managemen, Reading University Inggris ke ke Pasar Minggu,  Jakarta.

Pasar Minggu  adalah salah satu tempat perantau Aceh menjemput rezeki. Tidak ada yang tahu, dengan siapa saja alumni Pelajar Islam Indonesia (PII)  ini bertemu dan apa saja yang dibicarakan.

Tukang ojek itu tidak tahu yang diboncengnya adalah mantan napol Aceh yang disiksa di  Lampineung Banda Aceh.  Setelah Pak Nurdin bebas, saya hanya sekali bertemunya di Kayu Manis Jakarta, dalam kapasitas sebagai bupati Bireuen.

Kini beliau telah tiada, Tgk Nurdin Abdurrahman atau lebih popular dengan Pak Nurdin AR, mantan Bupati Bireuen Periode 2007-2012, meninggal dunia, di kediaman beliau, Komplek Meuligoe Residen, Desa Cot Gapu, Kota Juang, Bireuen, Senin (8/6/2020). Alfatihah!

Keterangan Foto: kanan-kiri:  Imran (aktivis PII),  Nurdin AR,  Zulkarnain Jalil (Dosen Unsyiah), Hasbi abdullah, Idris  (anggota TNI Keutapang yang dituduh membantu AM) di penjara Keudah, 1997. [Foto: Koleksi  Zulkarnain Jalil].

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Tunggu Sedang Loading...