Take a fresh look at your lifestyle.

Cara Isaiah Berlin Memahami Tradisi Intelektual Russia

Oleh: Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad
Dosen UIN Ar-Raniry dan Penulis Islam Historis.

Salah satu fokus kajian Isaiah Berlin adalah menukilkan wajah Russia, saat dia bertugas sebagai diplomat Inggris. Perhatian Berlin terhadap Russia memang tidak dapat diabaikan sama sekali.

Sebab, dari karya-karya Berlin dan catatan diplomatnya, diketahui bagaimana sejarah awal intelektual dan perihal tentang Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Kajian tentang Russia memang kajian yang baru bagi saya. Karena itu, di dalam menyajikan esai ini, saya akan mencoba memahami pemikiran Berlin dari tiga aspek tersebut. Ada dua buku khusus yang ditulis Berlin yaitu Russian Thinkers dan The Soviet Mind: Russian Culture under Communism, serta beberapa esai lainnya yang edit oleh Henry Hardy. Mengkaji tentang Russia tentu akan mengingatkan pada pengaruh Marxisme di era Stalin.

Demikian pula, ketika Berlin masih berusia 8 tahun (1917), dia menyaksikan dua revolusi di Petograd, yaitu: Revolusi Maret dan Revolusi Oktober. Berlin mulai menulis tentang Russia setelah kembali ke Uni Sovyet, sebagai seorang diplomat dari Inggris pada tahun 1945. Dalam kunjungan tersebut, dia bertemu dengan Anna Akhmatova dan Boris Pasternak. Anna Andreevna Akhmatova (1889-1966) merupakan penyair Russia kelahiran Ukraina. Pertemuannya dengan Isaiah Berlin pada tahun 1945, disebutkan sebagai “Tamu dari masa depan.” Di samping berjumpa dengan Akhmatova, Berlin juga secara regular berjumpa dengan Boris Leonidovich Pasternak (1890-1960), seorang penyair Sovyet dan penyandang hadiah Novel atas karyanya Doktor Zhivago pada tahun 1957.

Russia memberikan kesan tersendiri bagi Berlin. Di sini tempat kelahirannya, yaitu Riga, sekarang menjadi Latvia. Dia kerap dikenal sebagai Yahudi Russia. Rasa empatinya terhadap negara Russia sangat besar sekali, kendati dia sudah menjadi warga Inggris sejak 1926. Karena itu, tulisan-tulisan Berlin tentang Russia menarik untuk disimak dan dikaji. Tulisan-tulisan Berlin tentang Russia dihasilkan pada tahun 1940-an dan 1950-an; mulai dipublikasikan antara tahun 1948 dan 1961.  Dalam menghasilkan tulisan tentang Russia memang memiliki “akses istimewa” (“priveleged access”). Hausheer menyatakan bahwa: ”…unlike many intellectuals, Berlin has had close links with public life. His networks of connection has made him a priveled observer of, at time an active participant in, some of the major events of the day.” Kisah perjalanan Berlin ke Moskow digambarkan secara detail oleh Michael Ignatieff dalam Isaiah Berlin: A Life. Di situ ada perjalanan untuk mencari tahu “duduk perkara” yang sedang terjadi di Russia. Dia pun berjumpa dengan beberapa kerabatnya yang sudah lama tidak bertemu. Selebih itu, Berlin tetap bertugas sebagai pegawai di Kedutaan Inggris di Moskow. Berlin pun mengatakan bahwa sebelumnya dia tidak pernah berada di Moskow.

Selama menjadi staf di Kedutaan Besar Inggris di Moskow, Berlin memang hanya bertugas untuk menulis laporan setiap pagi, dimana dia diminta untuk membaca, meringkas, mengomentari media surat kabar di Sovyet. Tugas ini mirip sebagai bagian dari operasi intelijen yang mengumpulkan data dari informasi-informasi terbuka, yang kemudian dianalisis dan disampaikan ke user.

Menurut Berlin, surat kabar Sovyet waktu itu digambarkan “monochrome, predictable and repetitive, and the facts and propaganda virtually identical in them all.” Karena itu, Berlin lebih banyak menggunakan waktunya untuk mengambil data untuk keperluan akademiknya, seperti mengunjungi museum, tempat-tempat dan bangunan bersejarah, teater-teater, toko buku, dan selebihnya jalan-jalan. Berlin merefleksikan perjalanannya dalam berbagai esai. Salah satunya adalah “Four Weeks in the Soviet Union.” Di situ dijelaskan bahwa selama perjalanan di Moskow, dia sempat berjumpa mahasiswa paskasarjana Harvard yang mendapatkan dana perjalanan dari Carnegie Travel Grants untuk menggali sebanyak mungkin informasi tentang Soviet dalam bentuk “penelitian lapangan.” Setelah itu dia berkunjung kepada Pushkin House, di mana dia berjumpa dengan Professor Alekseev, kepala kantor tersebut.

Baca Juga:  Hukum dalam Permainan Tata Bahasa

Kemampuan Isaiah Berlin memetakan kekuatan intelektual Russia memang tidak diragukan. Dalam dua karyanya tersebut, saya akhirnya bertemu dengan berbagai tokoh yang menjadi saksi hidup perjalanan sejarah intelektual Russia. Kendati saya awam dengan apa yang terjadi di Russia, melalui beberapa karya Isaiah Berlin, saya mulai belajar memahami kekuatan intelijensia a la Russia. Disebutkan bahwa kata ‘intelijensia’ itu sendiri berasal dari bahasa Russia. Karena itu, istilah ini memperlihatkan bagaimana kekuatan ide yang berkembang di Russia, yang mungkin agak sulit ditemukan di negara-negara lainnya. Berlin sendiri dalam esainya yang berjudul “The Survival of the Russian Intelligentsia” menulis tentang istilah “intelligentsia” sebagai berikut:

Intellectual are persons who, as someone said, simply want ideas to be as interesting as possible. ‘Intelligentsia’, however, is Russian word and a Russian phenomenon. Born in the second quarter of the nineteenth century, it was a movement of educated, morally sensitive Russians stirred to indignation by an obscurantist Church; by a brutally oppressive State indifferent to the squalor, poverty and illiteracy in which the great majority of the population live; by a governing class which they saw as trampling on human rights and impeding moral and intellectual progress.

Tampak bahwa tradisi intelijensia yang muncul di Russia merupakan bagian dari perlawanan terhadap pemerintah yang sangat brutal. Mereka melakukan perlawanan melaui cara-cara kerja sebagai intelektual yang memiliki ide. Di sinilah saya kemudian memahami konsep kekuatan ide (the power of ideas) yang juga menjadi judul buku Isaiah Berlin. Tampaknya, mempelajari bagaimana tradisi intelektual yang disajikan oleh Isaiah Berlin akan memberikan dorong kuat untuk mengatakan bahwa jangan pernah remehkan suatu ide atau gagasan dari para kelompok intelijensia, sebagaimana disampaikan oleh Isaiah Berlin.  Jangan heran, jika Revolusi Februari pada tahun 1917, dimana Isaiah Berlin menyaksikan sendiri, saat masih kanak-kanak, adalah digerakkan oleh kaum intelektual. Karena itu, tidak mengherankan jika kemudian kelompok intelektual selalu dimonitor oleh pemerintah Uni Sovyet. Sebagian mereka, pernah bertemu dan menerima simpati dari Isaiah Berlin.[]

Baca Juga:  Catatan Sagoe ID: Quo Vadis Aceh Dalam Sistem Ekonomi Nasional dan Global

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Tunggu Sedang Loading...