Take a fresh look at your lifestyle.

Bujang Salim: Jejak Pejuang Aceh Di Papua

Oleh: M Adli Abdullah
Staf Khusus Bidang Hukum Adat Menteri ATR/BPN Republik Indonesia.

Disela-sela melakukan perjalanan dinas Kementerian ATR/BPN di Papua. Selain bertemu dengan berbagai kalangan mengenai persoalan tanah adat, menghadiri peluncuran Universitas Adat Papua. Juga menyempatkan waktu melihat jejak Aceh dengan Papua.

Salah satu jejak Aceh dengan Papua adalah Bujang Salim. Silaturahmi ke keluarga besar Bujang Salim adalah seorang Pahlawan Aceh (Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan), di Jayapura, dimulai dari perkenalan dengan Salah satu cucu Bujang Salim yang juga pegawai Kanwil BPN Papua, namanya Sinair Pang Muslim 40 tahun, beliau datang ke hotel tempat saya menginap di pagi hari jam 6 bersama abangnya Ichsan Ansyari (55 tahun).

Perkenalan ini memantik keingintahuan saya tentang keluarga pahlawan ini, yang tercatat dalam buku buku sejarah kemerdekaan Indonesia di Aceh.

Pak Sinair Pang Muslim dan Ichsan Ansyari memberitahukan kedatangan saya ini kepada orang tua beliau tgk Ibrahim syakdan (90) dan ibunda beliau Gulyankedi binti Bujang Salim (85) Sehingga saya dibawa ke rumah untuk bertemu tokoh Aceh yang sangat disegani di bumi cenderawasih ini.

Bunda Gulyankedi mengisahkan bagaimana beliau tinggal di Papua sejak lahir dikarenakan ayahandanya yang berasal dari Nisam Aceh Utara dibuang oleh Belanda ke Boven Digul.

Ayahanda bunda Gulyankedi, Bujang Salim, dilahirkan pada tahun 1891 di Keude Amplah, Nisam Kabupaten Aceh Utara.

Sebagai putra Uleebalang Nanggroe Nisam, pada tahun 1912 beliau menyelesaikan kelas 5 (lima) pada Kweekschool dan Osvia di Bukit Tinggi (Sumatera Barat) dan kemudian kembali ke Aceh.

Pada 8 Februari 1921, Bujang Salim dipecat dari jabatan itu dan diasingkan ke Meulaboh oleh Belanda. Pada 21 April 1922, ia dibuang ke Meurauke. Selama di sana, Bujang Salim juga melakukan aktifitas pendidikan dan keagamaan sehingga sangat meresahkan Belanda.

Baca Juga:  Elit, Rakyat dan Politik Peusakhöb

Itu sebabnya, Bujang Salim lalu dibuang ke daerah Tanah Merah (Digul) pada 5 April 1935. Digul adalah tempat pembuangan para pejuang kemerdekaan. Letaknya di dekat sungai Digul hilir, Papua.

Berikutnya, di masa serbuan Jepang, tepatnya 11 Mei 1942, Bujang Salim kembali diungsikan. Awalnya, ia diungsikan ke hutan Bijan, kemudian dikembalikan lagi ke Meurauke. Pada 3 November 1942, ia kembali dibawa pulang ke Tanah Merah.
Pertengahan tahun 1943, atas anjuran Van Der Plas pemerintahan Belanda, mengangkut semua orang buangan untuk diungsikan ke Australia, termasuk Bujang Salim. Tiba di Mackay, Australia, 5 Juni 1943.

Akhir tahun 1945, pemerintah interniran Belanda memerdekakan orang-orang buangan tersebut dan dijanjikan akan dipulangkan ke masing-masing tempat asal. Pada 7 Oktober 1946, Bujang Salim dan rombongan eks buangan diberangkatkan dengan kapal barang tentara sekutu dan tiba di Jakarta, 14 Oktober 1946.

Ia dimasukkan ke kamp Chause Complex, satu bulan kemudian, anggota rombongan lainnya diberangkatkan ke Cirebon dan diserahkan pada pemerintah Indonesia. Sedangkan Bujang Salim, karena anaknya sakit keras, tidak jadi diberangkatkan sampai empat bulan lamanya.

Bujang Salim kemudian berhubungan sendiri dengan pemerintah Indonesia di Pegangsaan Timur dan dibolehkan berangkat ke Purwokerto. Pada 15 Februari 1947 oleh Kementrian Dalam Negeri di Purwokerto, dipekerjakan di sana sementara menunggu kapal yang berangkat dari Cilacap menuju Sumatera. Karena Agresi I Belanda pada 31 Juli 1947, ia dan keluarga terpaksa mengungsi ke lereng-lereng gunung Slamet (Jawa Tengah) selama enam bulan.

Pada Maret 1948, ia ditangkap oleh satu pasukan patroli Belanda dan ditahan untuk diperiksa. Dua hari kemudian ia dilepaskan dan dengan dasar janji Belanda di Australia dulu, ia dibawa ke Medan (Sumatera Utara, tiba 20 April 1948.

Baca Juga:  Transisi Pandemi-Endemi Covid-19, Psikologis Siswa, dan Pemanfaatan Microsoft Teams

Pada Februari 1950 dengan bantuan Gubernur sumatera Utara (Aceh bagian dari Sumatra Utara ketika itu) Mr S M Amin, Bujang Salim diberangkatkan ke Kutaradja (Banda Aceh). Lalu, 31 Juli 1950 ia pulang ke Krueng Geukuh, yang saat itu berada dalam Nanggroe Nisam. Bujang Salim akhirnya meninggal dunia pada Rabu, 14 Januari 1959.

Ia dikebumikan di Krueng Geukuh, tepatnya dekat Masjid Besar Bujang Salim.
Selama hidup, beliau dikaruniakan 8 (delapan) orang anak (1 dari isteri pertama di Krueng Geukueh), tetapi disangsikan tidak dapat pulang dari pembuangan, lalu bercerai. Sedangkan 7 orang lagi dari isteri kedua di Merauke dan namanya sebagai berikut

1. Budjangjayah
2. Jangjakedi
3. Jangjayahdi
4. Babujangjah
5. Gulyankedi
6. Mackaustrali
7. Acehneksom

Hanya Anak kelima Bunda Gulyankedi yang tetap tinggal di Papua sampai saat ini bersama Suaminya Tgk Ibrahim Syakban yang berasal dari Bintang Aceh Tengah, yang ditugaskan pada tahun 1960 an sebagai camat Meurauke. Walau di usia senja mereka tetap setia dalam jalan dakwah dengan membina pesantren bersama anak anaknya.

Begitulah sekulumit tokoh Aceh, jejak Bujang Salim di Papua.

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Tunggu Sedang Loading...