Take a fresh look at your lifestyle.

Akankah China-Rusia Bakal Masuk Jebakan Rawa Perang Asimetris dan Bom Waktu AS di Afghanistan?

Oleh: Novendra Deje.
Analis Geopolitik di Komunitas Studi Agama dan Filsafat (KSAF).

Berada di persimpangan Asia Tengah dan Selatan, Afghanistan mendapati lokasi geostrategisnya dalam incaran antar kekuatan (ideologi) besar untuk dapat menegakkan kendali pengaruh di sana. Pihak manapun yang dapat memiliki pengaruh kuat, akan memiliki kunci penting dalam mengontrol permainan di papan catur geopolitik Eurasia. Karenanya, Amerika Serikat (AS) dan juga diantara sesama aliansi transatlantiknya (NATO) diyakini tetap akan mempertahankan kehadiran mereka di sana, dengan sesuatu dan lain cara.

Secara formal AS telah menarik semua pasukannya, hingga tenggat waktu akhir 31 Agustus lalu, setelah 20 tahun menjalani invasi militer dari Afghanistan. Namun apakah Washington ataupun Pentagon akan benar-benar meninggalkan arena tempur dalam bentuk lain dari negara itu, saya kira tidak. Tampaknya Pentagon tidak benar-benar akan meninggalkan operasi keamanannya di disana, dan akan menempuh perang dalam bentuk lain demi dapat memiliki kendali relatif untuk memberi gangguan yang signifikan bagi langkah China dan Rusia.

Bagaimanapun, AS telah memutar fokus kebijakan untuk menahan laju langkah China sebagai kekuatan yang sedang berkembang. Namun titik api perseteruan antar kekuatan besar itu tidak dapat sepenuhnya digeser ke Indo-Pasifik Barat. Tentu Washington sadar akan arti penting persimpangan Asia Tengah dan Selatan itu yang sangat strategis untuk checkpoint geopopitik Eurasia. Hal itu akan membuat Washington tidak sudi membiarkan Beijing melenggang manis menancapkan pengaruh lewat skema Belt and Road Initiative (BRI) nya di sana, dan memperoleh ruang kerja sama strategisnya dengan Moskow.

Ketika BRI menargetkan apa yang disebut dengan istilah “New Road Silk” — yang akan menghubungkan dunia Timur dan Barat — telah lebih kondusif jalurnya untuk dapat hidup kembali, itu akan semakin menemukan ruang bagi terbangunnya aliansi strategis antara China dan Rusia, serta tidak terkecuali Pakistan dan juga Iran — secara tak terhidarkan — akan menjadi pemain kunci di kawasan itu. Hal itu jelas sangat bertentangan dengan fokus kepentingan AS hari ini, dan upayanya dalam menutup berbagai celah yang memungkinkan China-Rusia semakin terikat satu sama lain untuk saling bekerja sama.

Seperti yang telah saya singgung pada tulisan sebelumnya berjudul “Invasi Militer Amerika Game Over, China Bergerak Maju di Afghanistan,” bahwa peta jalan BRI memproyeksikan Afghanistan akan memiliki peran pada tujuan yang lebih luas pada posisinya di persimpangan Asia Tengah dan Selatan. Sementara China siap untuk berinvestasi di Afghanistan, Rusia akan lebih berperan untuk memastikan keamanan di sana. Baik China maupun Rusia akan mendorong kearah situasi yang kondusif di kawasan itu lewat promosi perdagangan.

Baca Juga:  Politik Sungsang

Lalu apa yang mungkin dilakukan oleh AS untuk menahan laju China dan juga Rusia di Afghsnistan. Jika opsi pertama, bersedia bekerja sama dalam kemitraan yang setara, masih enggan untuk dipilih, maka opsi lainnya — yang merupakan doktrin klasik pendekatan AS semenjak era Perang Dingin — adalah jalan yang dapat memberikan gangguan pada stabilitas politik dan keamanan di sana. Mengingat upaya egois untuk terus memapankan kekaisaran globalnya, sekaligus dalam rangka, seperti yang dikatakan Robert Bridge, menghukum mereka yang telah menunjukkan tiap sisi kerapuhan AS, maka opsi kedua itulah yang tampaknya akan dipilih.

Ada semacam deretan ‘bom waktu’ untuk permainan fase selanjutnya yang telah dipasang di negara persimpangan kawasan geopolitik Asia Tengah dan Selatan itu. Remote kontrolnya berada di Pentagon dan siap untuk diledakkan kapan saja. Targetnya, alih-alih China dan Rusia yang berharap stabilitas sosial, politik dan keamanan segera tercapai di sana, kedua pesaing global utama AS itu diproyeksikan malah akan terjebak dalam rawa perang asimetris.

Mengingat probabilitas situasi yang bakal dihadapi, di samping terus merintis hubungan saling percaya dengan Taliban sebagai pengendali pemerintahan baru Afghanistan saat ini, China juga menyatakan ke-sangat hati-hatiannya sembari terus memantau situasi untuk tidak terjebak dalam rawa penuh jebakan pasca invasi militer AS. Sikap demikian juga diambil oleh Rusia yang lewat Collective Security Treaty Organization (CSTO)-nya terus mengontrol keamanan di perbatasan Afghan-Tajikistan.

‘Bom Waktu’ Pentagon di Afghanistan Paska Invasi Militer.
Seorang jurnalis investigatif yang bekerja secara independen, Pepe Escobar, mengungkap adanya milisi Afghanistan yang dibentuk sekitar tahun 2000-an oleh CIA. Ia mengistilahkannya dengan “tentara bayangan Amerika” di sana. Lewat op-ed nya di media TheCradl.co, Pepe menyebut milisi tersebut disiapkan memang untuk operasi kontra-pemberontakan dalam upaya melawan Taliban dan Al Qaeda.

Milisi itu bekerja dengan menormalkan bentuk-bentuk interogasi dan pembunuhan di luar mekanisme hukum. Dapat dibayangkan kelompok ini akan berkeliaran dengan tindakan-tindakan yang brutal, dengan tanpa kepatuhan pada aturan apapun, bahkan tidak terhadap hukum perang sekalipun. Sesesuai dengan pedoman klasik CIA, “operasi ini akan selalu bersifat rahasia, sehingga memastikan tidak pernah ada pertanggung jawaban,” tulis Pepe.

Baca Juga:  Siklus atau Karma?

Lalu dari mana sumber informasi ini telah bocor. Hal yang layak untuk kita pertanyakan, demi dapat mengesampingkan kesan bahwa itu hanyalah cerita bualan tendensius, atas dasar kecurigaan dari generalisasi pengalaman CIA memainkan peran di berbagai tempat lain. Pepe mengkonfirmasi bahwa Taliban sendiri yang telah jauh hari mengetahui hal ini. Sejak Mei lalu, Taliban telah menyimpan sel-sel tidur mereka di Kabul, bahkan jauh sebelum itu, sel-sel mereka telah menyusup di badan-badan pemerintahan.

Sumber yang dekat dengan Departemen Kementerian Dalam Negeri Afghanistan, menurut Pepe, mengkonfirmasi bahwa Taliban telah mendapatkan daftar lengkap dua skema operasi CIA teratas, yakni Khost Protection Force (KPF) dan National Directorate of Security (NDS). Dikarenakan jaringan intel kolaborasi ini menjadi apa yang saya maksud semacam bom waktu bagi Afghanistan pasca invasi militer, Taliban yang telah menerbitkan amnesti umum bagi musuhnya semasa perang, tampaknya tidak berlaku bagi para operator KPF dan NDS. Mereka melihat para operator itu sebagai ancaman nyata bagi upaya membangun stabilitas Afghanistan.

Untuk diketahui, jauh hari mantan Presiden Hamid Karzai telah pernah menentang pembentukan milisi kontra pemberontakan itu. Tetapi nampaknya dia tidak cukup berdaya untuk menghalanginya. Ketika semua keputusan tertinggi tidak berada di tangannya, mungkin Karzai hanya bisa menunjukkan sikap penolakan semata, tanpa punya kuasa untuk menahannya lebih lanjut. Nyataannya pembentukan milisi itu berlanjut, bom waktu yang dikendalikan Pentagon pun terpasang di negara itu.

Taliban telah tahu mengenai bom waktu yang ditanam tersebut, dari daftar penting operasi perang asimetris Pentagon yang telah mereka kantongi. Sehingga dari itu mereka perlu bergerak efektif untuk membersihkannya. Saat mengepung Kabul untuk mengambil alih pusat pemerintahan, Taliban telah mulai melakukan razia di jalan-jalan di sana. Razia oleh Taliban di pos-pos pemeriksaan menuju ke bandara Kabul tidak lain dalam rangka menargetkan penangkapan para operator KPF dan NDS.

Bagaimanapun, seperti diungkapkan oleh RHIPTO Norwegian Centre for Global Analyses, bahwa Taliban menunjukkan sistem intelijen yang lebih maju untuk diterapkan di perkotaan seperti Kabul. Mereka telah memiliki perencanaan matang terhadap target operasi dan bentuk-bentuk koordinasi yang dipilih. Kelompok itu, bagaimanapun punyak kepentingan lebih mendesak dalam upaya membagun pemerintahan yang stabil dan menghindar dari ancaman krisis kemanusiaan yang menganga di depan mata. Dari itu, memastikan kendali atas keamanan adalah prioritasnya.

Baca Juga:  Meugampong

Mengenai apa yang ditargetkan, dalam upaya membersihkan ‘bom waktu’ yang ditinggalkan Pentagon, Pepe mengungkapkan bahwa “Taliban telah menyiapkan operasi yang cukup kompleks dan terarah di Kabul, dengan banyak mode yang memungkinkan untuk terbukanya jalan bebas hambatan bagi Pasukan Khusus anggota NATO terpilih, yang pergi ke kota untuk mencari warga negara mereka.” Ketika Taliban mendatangi rumah-rumah tertentu dan mengetuk pintunya, itu menandai mereka telah memiliki daftar rinci, siapa saja yang terlibat dalam jaringan intel kolaborasi untuk didatangi.

ISIS-K dan Jalur Daesh Airline.
Mengenai apa yang disebut dengan kelompok teroris ISIS-K, media Asiatimes saat menurunkan laporan atas kejadian bom bunuh diri di bandara Kabul dan menkalkulasi siapa pihak yang diuntungkan dari peristiwa itu, mengungkap bahwa ISIS-K telah menjadi lebih kuat secara tidak proporsional semenjak tahun 2020. Hal itu disebabkan adanya jalur apa yang diistilahkan dengan “Daesh Airline,” yang di kalangan intel di Eurasia hal itu telah menjadi rahasia umum. Daesh Airline adalah jalur perlintasan para personil ISIS dari Idlib di Suriah menuju ke Afghanistan bagian selatan.

BBC pada tahun 2017 lalu pernah melaporkan bahwa ratusan personil ISIS di beri jalan dari wilayah Raqqa untuk keluar Suriah tepat dihadapan AS. Artinya AS setidaknya sangat mengetahui dan memiliki kepentingan untuk membiarkannya. Sementara Iran dan Rusia bahkan telah melayangkan protes di tingkat diplomatik tertinggi yang menyalahkan poros AS-Inggris mengenai pembiaran atas jalur lalulintas para teroris itu.

Setelah mengalami banyak pukulan kekalahan atas froksinya seperti ISIS di Asia Barat, dan bersamaan dengan pergeseran kebijakan AS untuk lebih fokus pada upaya menghadang laju China, para jihadis tampaknya akan direlokasi secara besar-besaran menuju Afghanistan lewat jalur Daesh Airline. Hal itu akan juga menjadi sebagai ‘bom waktu’ untuk dapat diledakkan kapan saja — pasca invasi militer AS — untuk menjauhkan Afghanistan dari mencapai stabilitas politik dan keamanan.

Pada tujuannya, perang asimetris di lapangan Afghanistan pastinya akan sangat sangat mengganggu kekuatan besar lain yang menjadi saingan AS, yakni China dan Rusia. Oleh karena itu, China tidak terlalu tergesa-gesa untuk menggelontorkan investasi skala besar di bawah skema BRI-nya di sana. Bersama Moskow, Beijing yang punya kepentingan dalam promosi perdagangan, akan juga mengukur sejauh mana keduanya dapat mengendalikan situasi untuk lebih kondusif bagi memajukan kepentingan bersama di Afghanistan

Get real time updates directly on you device, subscribe now.

Tunggu Sedang Loading...